“Aku enggak punya solusi yang pasti banget bisa memecahkan masalah (pelecehan seksual di ruang publik). Tapi, kamu harus langsung ngomong sama orang yang melecehkan kamu bahwa tindakan mereka itu salah.”
Demikian sepotong kalimat yang meluncur dari mulut Meita Nurul Aini, perwakilan Youth Coalition for Girls (YCG) tentang cara merespons pelecehan seksual di ruang publik. Senin (9/10) pagi lalu ia menjadi salah seorang narasumber sebuah diskusi media bertajuk “Ciptakan Kota Aman untuk Perempuan dan Anak Perempuan”. Dalam suasana yang santai dan akrab di sebuah kafe di bilangan Jakarta, puluhan awak media yang hadir menyimak pemaparan Meita dan dua narasumber lain, serta ikut aktif berdiskusi di kegiatan.
Meita mengungkapkan bahwa dirinya pernah selama tiga tahun berturut-turut menjadi korban kekerasan. “Saya mengalaminya di sekolah, tempat yang seharusnya aman.” Bahkan setelah ia melaporkannya ke pihak sekolah, Meita mengaku semakin diintimidasi oleh sang pelaku. “Itulah mengapa saya bersyukur bisa menjadi salah satu peserta acara ‘Sehari Jadi Pemimpin’ tahun 2016 di mana saya bisa speak up tentang apa yang saya alami,” tuturnya.
“Populasi perempuan di dunia jumlahnya mencapai 50 persen. Kalau mereka terhambat untuk beraktivitas akibat berbagai kekerasan di ruang publik, maka dunia akan merugi 50 persen,” tutur Lily Puspasari, Program Management Specialist UN Women, narasumber kedua. Isu kekerasan di ruang publik sudah menjadi topik utama dalam kerja-kerja PBB, terutama karena terkait kesetaraan gender yang masuk dalam salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Lily melanjutkan, dari sebuah scoping study yang dilakukan pihaknya, ditemukan sejumlah kekerasan verbal dan nonverbal di Jakarta. “Kelompok perempuan yang berisiko menjadi korban adalah anak perempuan muda, kaum disabilitas, kaum minoritas seksual, pekerja seks komersial, dan kaum etnis minoritas.” Dampaknya, tentu saja membatasi ruang partisipasi anak perempuan dan perempuan muda di sekolah, tempat kerja, dan kehidupan sosial. Beberapa rekomendasi telah dibuat, di antaranya perbaikan regulasi, infrastruktur, dan fasilitas transportasi umum. “Juga perubahan kesadaran atas isu ini, perubahan perilaku, budaya, dan norma sosial dari seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya lagi.
Di kesempatan selanjutnya, Nadira Irdiana, Advocacy Manager Yayasan Plan International Indonesia, mengungkapkan hasil temuan sebuah riset yang dilakukan YPII dengan U Report Indonesia. “Fasilitas umum yang dinilai paling tidak aman oleh responden kami adalah transportasi umum. Sementara ruang publik yang paling tidak aman adalah trotoar.” Ia menjelaskan bahwa riset mengambil sampel sebanyak 1.398 responden anak perempuan di rentang usia 15 – 17 tahun, di mana 50 persen tinggal di perkotaan dan 38 persen hidup di pedesaan. “Sisanya tinggal di wilayah dengan topologi khusus, yakni pantai.” Lanjutnya, riset merupakan awal dari serangkaian kegiatan perayaan Hari Anak Perempuan Internasional (International Day of Girls/IDG) yang jatuh pada tanggal 11 Oktober 2018. “Ada 12 anak perempuan yang terseleksi dan akan mengikuti ajang ‘Sehari Jadi Pemimpin’ tahun ini. Mereka akan mengambil alih posisi strategis di Kemenko Kemaritiman, Keminfo, KAI, Mabes Polri, dan Bareskrim Polri,” tuturnya. Posisi-posisi yang diambil alih tersebut menjadi jembatan atas rekomendasi dari temuan riset. “Kami ingin menyadarkan dan mendorong anak-anak perempuan untuk tampil dan terlibat dalam upaya perubahan, yakni menciptakan kota yang aman untuk mereka.”
Selain kegiatan “Sehari Jadi Pemimpin” di Jakarta yang akan dimulai pada tanggal 11 Oktober, Yayasan Plan International Indonesia juga mengadakan beragam kegiatan di Nagakeo, Lembata, dan Soe, Nusa Tenggara Timur, wilayah yang sudah lama menjadi dampingan Yayasan Plan International Indonesia. Di Lembata, dilakukan kompetisi menulis cerpen “Kota yang Aman untuk Anak Perempuan”, talkshow “Girl’s Champion for Creating Safer City for Girls in Lembata”, “Urun Rembug Mudho”, audiensi bersama Bupati Lembata, dan deklarasi “Menciptakan Lembata Kota yang Aman dan Tangguh Bencana untuk Anak Perempuan”. [Ciptanti Putri]