“Satu-satu, aku ingin sekolah. Dua-dua, aku ingin aku ingin bermain. Tiga-tiga, aku ingin berkembang. Satu, dua, tiga, tak ingin kawin anak,” seruan yang begitu ramai terdengar pada pagi hari Minggu (30/10/2022) di kegiatan Car Free Day.
Car Free Day (CFD) merupakan kegiatan yang dilakukan setiap minggunya di berbagai daerah, salah satu tempat Car Free Day paling ikonik di Ibu Kota adalah Bundaran HI, Jakarta Pusat. Namun, CFD kali ini cukup berbeda dari biasanya karena Ibu Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ikut memeriahkannya dengan mengadakan jalan sehat bersama menyerukan stop perkawinan anak, perundungan (bullying), dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Ketika melakukan jalan sehat dengan perjalanan yang tidak terlalu jauh bersama Menteri PPPA RI dan peserta yang mengikuti, mereka berjalan sambil menyuarakan sebuah yel-yel yang memiliki arti masyarakat harus sadar akan bahayanya perkawinan anak. Tingginya kasus perkawinan anak tersebut berdampak terhadap berbagai permasalahan sosial lainnya seperti tingginya kematian ibu dan bayi, stunting, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, angka putus sekolah, pekerja anak, kemiskinan, dan yang paling masif adalah penurunan kualitas sumber daya manusia pada satu generasi.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019), dalam studinya Girls Not Brides menemukan fakta bahwa 1 dari 8 perempuan di Indonesia sudah kawin sebelum berusia 18 tahun. Temuan ini diperkuat pula dengan data hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) (BPS, 2017) yang menunjukkan persentase perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah pernah kawin sebelum berusia 18 tahun sebanyak 25,71%. Angka perkawinan anak tersebut apabila ditelusuri lebih jauh berdasarkan domisili atau wilayah tempat tinggal, prevalensi anak perempuan di pedesaan yang menikah dibawah usia 18 tahun angkanya dapat mencapai dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan di perkotaan. Girls Not Brides menemukan data bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun. Temuan ini diperkuat dengan
data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BPS tahun 2017 yang menunjukkan persentase perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah pernah kawin dibawah usia 18 tahun sebanyak 25,71%. Dilihat dari aspek geografis, trend angka perkawinan anak dua kali lipat lebih banyak terjadi pada anak perempuan dari pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan.
Setelah selesai melakukan jalan sehat, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melanjutkan kampanyenya melakukan perbincangan dengan tema “Bincang Bintang” bersama anak dan kaum muda termasuk di dalamnya adalah Prajna selaku finalis Sehari menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan Faisal sebagai Peer Educator Program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak (Gema Cita) di Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Bunda Bintang mengajak diskusi terkait stop perkawinan anak, perundungan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sehingga dapat menampilkan perspektif baru, yaitu dari anak dan kaum muda.
“Perkawinan anak merupakan masalah yang kompleks, karena penyebabnya bukan hanya kemiskinan dan budaya tetapi, lebih dari itu. Sehingga kita harus peduli kepada lingkungan di sekitar bukan hanya lingkup keluarga tapi lingkup secara masyarakat karena dampak yang terjadi jika perkawinan anak adalah pendidikan, kesehatan, serta ekonomi bagi yang mengalami” Ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA yang kerap dipanggil Bunda Bintang juga menekankan bahwa adanya revisi dari Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1974 menjadi No. 16 Tahun 2019 yang tadinya perkawinan boleh dilakukan di umur 17 tahun menjadi 19 tahun, sehingga UU tersebut bisa menjadi perlindungan dan menghindarkan perkawinan dini.
Perbincangan juga dilanjutkan dengan membahas bullying (perundungan) yang sering terjadi di masa Pendidikan. Bunda Bintang menghimbau bagi yang melihat kejadian perundungan dapat melakukan pengaduan terdekat seperti ke orang dewasa sekitar agar korban segera mendapat solusi dan psikis ataupun fisiknya tetap aman.
Selanjutnya kembali lagi pembahasan tentang stop perkawinan anak Gema Cita dari Plan Indonesia memiliki sebuah modul untuk memberi tahu bagaimana menghindari perkawinan usia anak di lingkungan sekitarnya. “Sebagai pendidik sebaya, saya sering melakukan edukasi ke teman seumuran saya dengan bantuan penggunaan modul (Gema Cita) agar memudahkannya dalam memahami apa yang saya sosialisasi. Menjadi pendidik sebaya ke teman seumuran juga menguntungkan karena bisa lebih santai dalam menyampaikannya sehingga mereka juga mudah mengerti tentang resiko dan dan dampak perkawinan anak, upaya untuk mencegah, hingga penyelesaiannya,” kata Faisal.
Bagi yang mengalami kejadian seperti kasus yang sudah dibahas dapat melakukan laporan juga “Kami di kementerian PPPA sudah memiliki Call center untuk pengaduan ketika mengalami kekerasan seksual ataupun KDRT di 129,” ujar Kementerian PPPA.
Plan Indonesia berjuang dalam pemenuhan hak dan kesejahteraan anak terutama anak perempuan. Perkawinan usia anak, perundungan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan polemik yang masih menjadi salah satu isu prioritas Plan Indonesia. Salah satu upaya dalam mengedukasi masyarakat, Plan Indonesia melahirkan banyak pendidik sebaya agar lebih mudah dalam mengedukasi rekan di sekitarnya. Tidak hanya mengedukasi, pendidik sebaya juga bisa menjadi pendengar yang baik dan dapat memberikan arahan kepada instansi yang tepat.
Penulis: Dimas Ilham Prasetyo
Editor: Annisa Aulia Hanifa