Kegiatan ini diharapkan dapat memotivasi berbagai generasi untuk saling mendukung dalam mencegah kekerasan dan perkawinan anak. Sebab, perkawinan anak merupakan bagian dari kekerasan yang berdampak besar terhadap masa depan anak.
Bidang Peningkatan Kualitas Keluarga (PKK) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat mencatat, dari sekitar 8.000 permohonan dispensasi kawin, sebanyak 5.777 permohonan dikabulkan pada Desember 2022. Padahal, perkawinan anak membawa berbagai dampak negatif bagi anak, termasuk ancaman putus sekolah yang melanda sebanyak 10.884 anak di Jawa Barat pada 2022.
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Jawa Barat (Jabar) Atalia Praratya Kamil, diwakilkan oleh Euis Soetrisno SH Mpa selaku Staf Ahli menekankan urgensi keterlibatan antarpihak dalam mencegah perkawinan anak, termasuk TP PKK di level desa hingga provinsi. “Komitmen pencegahan perkawinan anak tidak berhenti sampai implementasi kebijakan. Edukasi yang rutin dan berkelanjutan terkait pencegahan perkawinan anak ke orang tua dan keluarga juga penting, karena pendidikan dan perlindungan semua dimulai dari rumah,” ucap Euis.
Hal senada disampaikan Kepala DP3AKB Provinsi Jawa Barat, Gusti Agung Kim Fajar Wiyati Oka. “Kampanye yang diinisiasi oleh DP3AKB dengan melibatkan pemangku kepentingan, seperti STOPAN JABAR (Stop Perkawinan Anak di Jawa Barat) dapat menjadi titik temu bagi kaum muda untuk aktif bersuara melindungi hak-hak dan masa depan mereka,” kata Kim Agung.
Sementara, Wakil Ketua Pengadilan Agama Cibadak, Kab. Sukabumi, Aman, menyampaikan pentingnya edukasi kepada orang tua, tokoh agama, tokoh adat, dan guru dang-undang yang mengatur batas usia perkawinan, sebagai bentuk mitigasi tingginya dispensasi perkawinan anak. “Meskipun ada ruang hukum dalam pasal 7 ayat 2 UU 16/2019, namun ada syarat kumulatif yang harus dipenuhi yaitu memiliki alasan yang mendesak dan memiliki bukti pendukung yang cukup. Artinya, penetapan dispensasi tidak sembarangan dikeluarkan jika dua syarat ini tidak terpenuhi,” kata Aman.
Pelibatan Bermakna untuk Cegah Perkawinan Anak
Sejalan dengan rencana kerja pemerintah, Plan Indonesia telah melakukan pendampingan rutin di 2 desa dan 5 sekolah di Kecamatan Warungkiara dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Pendampingan ini dilakukan terhadap remaja dan kaum muda usia 13-24 tahun dan orang tua dalam upaya edukasi pencegahan perkawinan anak. Plan Indonesia juga mendorong aspirasi anak/kaum muda melalui metode Pendidik Sebaya, untuk pelibatan aktif dalam mencegah perkawinan mulai dari skala keluarga hingga desa.
Amira (17 tahun), pendidik sebaya yang berpartisipasi dalam program Generasi Emas Bangs Bebas Perkawinan Anak (Gema Cita), menekankan pentingnya mendengarkan aspirasi kaum muda dalam isu perkawinan anak. “Masa depan kami, anak dan kaum muda, ada di tangan pemangku kebijakan dan orang tua. Namun, kami tidak tinggal diam, kami tetap harus terlibat aktif menyuarakan hak kami melalui peran kami sebagai pendidik sebaya,” ujarnya.
Hal ini diamini oleh Manajer Program SPACE (Penghapusan Kekerasan terhadap Anak dan Kaum Muda), Herbet Barimbing. “Pendekatan pendidik sebaya juga menjadi salah satu solusi edukasi yang efektif untuk anak dan kaum muda, seperti yang dilakukan oleh program Gema Cita di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lombok Barat sejak 2021,” ujar Herbet.
Herbet juga mengatakan, upaya membangun partisipasi bermakna bagi remaja dan kaum muda harus dilakukan dengan melibatkan mereka dalam forum strategis. Misal, dengan menjadi anggota Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), tim Sekolah Ramah Anak (SRA), Forum Anak Desa, dan pendidik sebaya.
(***)
Catatan untuk Editor:
Tentang Program Gema Cita
Program Gema Cita berfokus pada pencegahan kehamilan remaja, kekerasan terhadap anak, dan perkawinan anak. Program ini bertujuan agar anak dan kaum muda, khususnya perempuan, mampu membuat keputusan yang tepat untuk hidup bebas dari perkawinan anak dan kehamilan remaja.
Gema Cita bergerak melalui peningkatan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sukabumi. Implementasinya dilakukan melalui kerjasama dengan pemerintah desa, sekolah, remaja, dan kaum muda. Khususnya, dalam membentuk dan menjalankan Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) di 4 desa, juga mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) di 10 sekolah dari 2 kabupaten– Lombok Barat dan Sukabumi, sejak Juli 2022.
Tentang Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia)
Plan International telah bekerja di Indonesia sejak 1969 dan resmi menjadi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) pada 2017. Kami bekerja untuk memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Kami juga bekerja bersama kaum muda, untuk memastikan partisipasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan terkait hidup mereka.
Sebagai bagian dari Plan International Inc., Plan Indonesia memiliki program utama terkait sponsor bagi anak. Plan Indonesia telah membina 36 ribu anak perempuan dan laki-laki di Nusa Tenggara Timur, dengan lima komitmen untuk memenuhi hak dasar mereka, yaitu hak atas akta kelahiran, vaksin dasar, air bersih, sanitasi, dan kebersihan, juga pendidikan.
Plan Indonesia bekerja pada 8 provinsi melalui tujuh program tematik, yaitu Pencegahan Gagal Tumbuh Anak, Penghapusan Kekerasan terhadap Anak dan Kaum Muda, Kesehatan Remaja, Ketenagakerjaan dan Kewirausahaan Kaum Muda, Sekolah Tangguh, Kesiapsiagaan Bencana dan Respons Kemanusiaan yang Responsif Gender, juga Resiliensi Iklim yang Dipimipin oleh Kaum Muda. Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan, agensi, dan gerakan sosial yang melibatkan dan menargetkan agar 3 juta anak perempuan mendapatkan kekuatan yang setara, kebebasan yang setara, dan representasi yang setara.
Informasi lebih lanjut: plan-international.or.id.
Kontak Media
Annisa Hanifa, Programme Communications Specialist
Email: annisa.hanifa@plan-international.org; WA: 081807805393