Source: https://www.herworld.co.id/article/2021/10/20203-Apresiasi-Her-World-Women-of-The-Year-2021
Menggagalkan praktik perkawinan anak boleh dibilang merupakan salah satu tindakan paling berani yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan yang usianya tak lebih dari 22 tahun. Apalagi jika terjadi di desa atau daerah-daerah terpencil di Indonesia. Isu ini pun sudah lama jadi perhatian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada khususnya dan negara pada umumnya. Di sinilah Suci, hadir untuk menolong anak-anak keluar dari praktik perkawinan usia anak yang sudah terlanjur mengakar di daerahnya. Segala jenis ancaman pun pernah ia terima mulai dari disumpahi takkan menikah sampai usia berapapun hingga ancaman fisik seperti tangannya akan dipotong dan dibegal jika bersikeras menggagalkan perkawinan anak yang nyaris terjadi.
Hal utama yang membuatnya konsisten dalam menyuarakan hal ini adalah keikutsertaannya pada tahun 2016 dalam sebuah program bernama ‘Yes I Do’ yang digagas oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) dengan berbagai mitra berkaca pula dari pengalaman keluarga di mana kakak laki-lakinya harus menghadapi perceraian karena menikah di usia yang terlalu muda (20 tahun) dengan seorang anak perempuan berusia 15 tahun. Orangtuanya pun bercerai saat ia masih kecil. Jadi ia pikir, hal-hal seperti ini harusnya bisa tidak terjadi jika seseorang baik laki-laki atau perempuan bisa mematangkan diri dulu sebelum benar-benar melangsungkan perkawinan. Setidaknya, ada banyak hal yang harus diperkaya dan dinikmati saat masih sendiri sehingga pemicu keretakan rumah tangga seperti misalnya ingin bekerja, ingin kuliah, atau bahkan ingin mengembangkan potensi tak muncul belakangan pada saat sudah memiliki anak. Anak pun kemudian jadi korban sehingga sering terjadi pertengkaran yang berujung pada perceraian.
Lebih dari itu, teman-teman sebayanya juga banyak yang sudah punya anak ketika masih SMP sehingga mereka menyesal dan tak lagi bisa bebas bermain. Rangkaian kenyataan inilah yang kemudian membuatnya berhenti tinggal diam dan memutuskan untuk bergabung dalam Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) dan menjadikannya perempuan pertama di Indonesia yang berhasil menjadi ketua KPAD. Banyak penghargaan yang ia dapat dan banyak pula pujian yang mampir pada dirinya. Namun hal tersebut tak serta-merta membuat mahasiswa S1 Pendidikan Kimia di Universitas Mataram ini berpuas diri. Ia masih punya cita-cita besar untuk masuk dan jadi bagian dalam Lembaga PBB serta keliling dunia untuk melihat bagaimana perlindungan anak yang berhubungan dengan perkawinan usia muda digalakkan di negara berebeda.
Lepas dari segala perjuangan dan ketidakgentarannya menentang praktik perkawinan anak, Suci juga masih punya hobi yang sama dengan perempuan seusianya. Ia amat senang membaca Webtoon, nonton drama Korea, jalan-jalan ke pantai bersama teman, hingga makan enak. Baginya, waktu bekerja dan waktu senggang memang harus dipisahkan. Beruntunglah ia memiliki keluarga yang suportif terutama sang ibu yang juga jadi sosok paling inspiratif dalam hidupnya. Bahkan, sang ibu memberi kebebasan luar biasa baginya untuk terus bergerak dalam urusan ini. “Saking suportifnya, segala kegiatan saya yang berhubungan dengan KPAD, rapat-rapat penting, atau sekedar penyuluhan dan pemberdayaan anak perempuan, selalu ia arahkan untuk dilakukan di rumah. Jadi, rumah saya boleh dibilang selalu ramai karena setiap ada kumpul-kumpul seringkali dilakukan di rumah. Ibu malah senang!” tutup anak bungsu dari tiga bersaudara yang dulunya punya cita-cita ingin menjadi guru. Satu pesan darinya adalah “Jangan pernah jadikan perkawinan anak sebagai solusi karena hal itu justru akan membuka permasalahan baru lagi”.