Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia yang memperjuangkan pemenuhan hak-hak anak dan kesetaraan kaum muda perempuan, mencermati pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kami mengapresiasi beberapa perbaikan yang diakomodasi dalam KUHP ini. Namun demikian, kami juga mencatat beberapa pasal yang kurang tepat dan berpotensi bertentangan dengan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak, dan menghambat proses berdemokrasi di Indonesia. Hal ini tentunya kontraproduktif dengan semangat awal pembentukan undang-undang ini yang di antaranya adalah humanisasi dan penghormatan hak asasi manusia dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Adapun beberapa hal yang menjadi catatan kami antara lain:
1. Salah satu pasal dalam KUHP ini berpotensi mengkriminalisasi atau memidanakan remaja atau kaum muda yang terlatih dari berbagai elemen dan komunitas yang melakukan edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi pada kelompok sebaya.
Dalam Pasal 408 tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat pengguguran kandungan, dinyatakan: “Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I”.
Sementara, Pasal 410 (ayat 1) hanya petugas atau aparat pemerintah yang dapat atau boleh melaksanakan kegiatan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak. Hal ini dapat berimplikasi pada:
1) Munculnya keengganan berbagai elemen masyarakat khususnya relawan terlatih untuk turut melakukan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak karena bukan petugas yang dianggap berwenang sehingga berisiko dipidanakan;
2) Dengan terbatasnya tenaga penyuluh resmi dari pemerintah akan mengakibatkan semakin minimnya akses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak dan remaja. Sehingga, berpotensi meningkatkan perilaku berisiko seksual anak, risiko kehamilan remaja, dan seringkali berujung pada perkawinan anak.
3) Bertentangan dengan Pasal 174 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang peran serta masyarakat secara aktif dan kreatif untuk mencapai derajat kesehatan, dan salah satunya melalui edukasi kesehatan seksual dan reproduksi.
Untuk memperkuat pemahaman kesehatan reproduksi dan pencegahan kehamilan remaja, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Perlu adanya keterlibatan berbagai elemen masyarakat, termasuk tenaga pengajar, orang tua, relawan terlatih, untuk memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi kepada remaja.
2. Salah satu pasal dalam KUHP ini berpotensi mendorong kian maraknya praktik perkawinan anak dan kontradiktif dengan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Pasal 454 tentang melarikan anak dan perempuan. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap orang yang membawa pergi anak di luar kemauan orang tua atau walinya, tetapi dengan persetujuan anak itu sendiri, baik di dalam maupun di luar perkawinan, dipidana penjara paling lama tujuh tahun. Namun, seperti dinyatakan di ayat (3) pasal ini, penuntutan pidana hanya bisa dilakukan jika ada pengaduan anak, orangtua, atau walinya.
Ketentuan tersebut menurut pandangan kami membuka peluang bagi maraknya perkawinan anak di Indonesia. Karena, di sejumlah daerah terdapat intepretasi budaya yang mendorong praktik perkawinan anak akibat pihak laki-laki melarikan anak perempuan yang kemudian wajib dinikahi atas dasar budaya setempat. Dengan adanya pasal ini, pelaku yang membawa lari anak tidak akan dipidana kecuali adanya pengaduan dari anak, orang tua, atau walinya.
Aturan terkait pengaduan ini tidak sejalan dengan tujuan penghapusan perkawinan anak, yang kasusnya dapat terjadi akibat orang tua yang justru mengizinkan / menikahkan anaknya. Seharusnya negara hadir memberikan perlindungan dan melakukan pencegahan anak yang dilarikan, atau dikawinkan dengan alasan apapun, tanpa harus menunggu adanya aduan dari anak, orang tua, atau walinya.
Aturan mengenai hak melakukan pengaduan dalam KUHP ini juga kontradiktif dengan UU TPKS yang mengkategorikan: a) perkawinan anak; dan b) pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, sebagai bagian dari pemaksaan perkawinan, yang hal ini merupakan bagian dari tindak pidana kekerasan seksual dengan ancaman hukuman penjara 9 tahun atau denda maksimal Rp 200.000.000. Sehingga, siapapun termasuk orang tua atau wali dapat menjadi pelaku pemaksaan perkawinan tersebut.
3. KUHP ini berpotensi bertentangan dengan cita-cita demokrasi dan mematikan budaya berpikir kritis kaum muda.
Pasal 240-241 mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi, serta pentingnya penghormatan terhadap kebebasan berpendapat seperti dijamin konstitusi. Istilah ‘penghinaan’ dalam pasal ini dalam praktiknya akan sulit dibedakan dengan kritik. Implikasinya, akan banyak kritik yang berpotensi dianggap menghina sehingga dipidanakan. Kondisi ini juga dapat berdampak kepada matinya cara berpikir kritis kaum muda yang sangat dibutuhkan sebagai titik awal menuju perubahan positif bagi pembangunan bangsa di masa mendatang.
Plan Indonesia akan bekerja bersama kaum muda dan berbagai aliansi masyarakat sipil untuk menelaah lebih lanjut substansi dari UUKUHP ini secara lebih mendalam khususnya dari perspektif pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Setelah adanya telaah yang lebih mendalam, Plan Indonesia akan menentukan berbagai langkah strategis selanjutnya bersama mitra untuk mengawal UUKUHP ini sebelum secara resmi diberlakukan pada tahun 2025 mendatang.
Kami berharap, saat pemberlakuannya nanti, UU ini hadir sesuai semangat awal pembentukannya, yaitu dekolonialisasi, harmonisasi, humanisasi, dan demokratisasi hukum pidana di Indonesia. Kami mengajak seluruh elemen masyarakat khususnya kaum muda untuk turut mengawal UU KUHP ini agar sesuai dengan semangat awalnya.
Jakarta, 13 Desember 2022
Hormat Kami
Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia)
Tentang Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia)
Plan International telah bekerja di Indonesia sejak 1969 dan resmi menjadi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) pada 2017. Kami bekerja untuk memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Bersama kelompok dan jejaring kaum muda, kami bekerja untuk memastikan partisipasi kaum muda yang bermakna dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Kami juga memobilisasi sumber daya dengan mitra, seperti sektor swasta, lembaga donor, yayasan filantropi, dan donatur individu, untuk memberi dampak lebih luas bagi anak-anak Indonesia.
Narahubung:
Muhamad Burhanudin
Media and Communication Manager
Plan Indonesia
085692441525
muhamad.burhanudin@plan-international.org