
Nasib nelayan domestik ternyata sering kena tipu soal upah. Para juragan atau pemilik kapal seringkali memanipulasi hasil tangkapan supaya membayar upah anak buah kapal secara murah.
“Upah memang tergantung sesuai hasil tangkapan, tapi soal pengupahan, saya sering ketipu.”
“Seharusnya dapat banyak (tangkapan ikan), tapi upahnya sedikit,” ujar nelayan Tegal, Edy Gunanto (33) kepada Tribunjateng.com, Rabu (7/9/2022).
Dia mencontohkan, ketika kapalnya melaut selama dua bulan dengan kapal di atas 100 gross ton mendapatkan hasil tangkapan cumi kelas utama seberat 10 ton, hitungan kasarnya setiap ABK akan mendapatkan upah Rp 8 juta sampai Rp 9 juta.
Fakta di lapangan, nelayan hanya mendapatkan upah rentang Rp 4 juta hingga Rp 6 juta.
“Upah akan semakin kecil sesuai hasil tangkapan ikan selama melaut,” beber pria dua anak ini.
Menurutnya, para pemilik kapal ada saja alasannya ketika memotong upah ABK.
Di antaranya dengan alasan untuk biaya perbekalan membengkak, solar mahal, dan lainnya.
“Padahal itu alasan saja untuk menutupi kecurangan itu,” terangnya.
Begitupun soal tangkapan hasil memancing, dia mengatakan, hasil tangkapan hasil memancing ABK dihargai begitu murah yakni di angka Rp 20 ribu per kilogram. Padahal, harga normalnya di atas Rp 100 ribu.
“Memang dihargai murah sekali, padahal hasil mancing pribadi itu bisa menjadi pemasukan yang lumayan,” terangnya.
Dia tak dapat berbuat banyak dari perilaku para pemilik kapal. Bersama para ABK lainnya hanya mampu menggerutu.
“Paling mentok ketika mau berangkat lagi, kami diajak tidak mau, ikut ke kapal lain saja yang lebih adil,” kata warga Kramat, Kabupaten Tegal itu.
Sementara itu, nelayan Tegal, Hery Hermanto (31) menuturkan, seringkali mengalami hal serupa mendapatkan upah tidak sesuai hasil tangkapan. Dia melihat hasil tangkapan laut banyak tapi ketika pembagian upah kecil yakni Rp 4 juta selama bekerja dua bulan. “Kami sebagai nelayan bertahun-tahun hapal betul berapa uang yang kami terima dari melihat hasil tangkapan.”
“Tapi terlalu banyak pengurangan dengan alasan biaya operasional bikin kami jengkel sehingga terpaksa pindah-pindah kapal yang bosnya adil,” terangnya.
Terpisah, SAFE Seas Project Manager, Hari Sadewo mengatakan, upah ABK dalam negeri menerapkan bagi hasil sehingga rawan kecurangan. Bagi hasil mekanismenya dari pembagian presentase tertentu yang berpatokan besar kecilnya tangkapan ikan.
“Ada celah untuk mencurangi ABK melalui permainan harga yang tidak transparan,” terangnya kepada Tribunjateng.com, Rabu (7/9/2022).
ABK migran juga berpotensi hal yang sama yakni upah rendah karena tidak sesuai dengan nilai kontrak. Upah tersebut dapat dikurangi biaya tertentu akibat sejak awal tidak clear terkait biaya paspor, buku pelaut, dan lainnya. Belum lagi tidak ada transparansi antara dua perusahaan pemilik kapal dan perusahaan penempatan ABK.
“Banyak hal buram di situ mulai pra penempatan, penempatan di kapal, hingga pemulangan dari melaut,” jelasnya.
Pihaknya menyebut, bersama Yayasan Plan International Indonesia (YPII) telah mengedukasi kepada ABK terutama hak-haknya yang tercantum dalam Perjanjian Kerja Laut (PKL) di Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2016. Penerapan PKL tersebut masih disikapi pesimis oleh pengusaha kapal yang berdalih setiap ABK selalu berpindah antara kapal satu dengan kapal lainnya.
“Padahal PKL dapat disikapi dengan satu trip, misal kontrak satu kali trip selama dua sampai tiga bulan selesai.”
“Ada trip baru ya PKL baru,” bebernya.
Kesadaran untuk menyediakan jaminan sosial juga digaungkan pihaknya melalui kerja sama dengan pelabuhan supaya mendorong pemilik kapal supaya menyediakan PKL dan jaminan asuransi.
“Sudah cukup banyak kemajuan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari jadi di sini aksesnya gampang misal di jaminan sosial setiap ABK selalu didaftarkan setiap trip,” katanya. (*)
Artikel ini ditulis oleh Iwan Arifianto (Jurnalis Tribun Jateng) dan pernah dimuat di Tribunnews.com edisi 7 September 2022