Sava, 17, gelisah setiap kali mendengar suara pengumuman dari pengeras suara mesjid lingkungan rumahnya mengumumkan salah satu warga meninggal dunia, dan kebanyakan disebabkan oleh COVID-19. Dia merasa tidak tenang. Selama ini dia hanya melihat pemberitaan yang cukup gencar di televisi orang meninggal karena COVID-19 saat melakukan isolasi mandiri (Isoman) menyusul puncak gelombang II COVID-19 yang membawa varian Delta, pada bulan Juni-Juli 2021. Kini terasa nyata virus itu mendekati lingkungan rumah tempatnya tinggal.
“Saya bilang ke ibu saya, kasihan keluarga yang ditinggalkan orang yang mereka sayang karena COVID-19 ini. Tidak bisa menjenguk jika sakit, tidak bisa mengkafani, dan jasadnya harus diplastik, jika meninggal. Ibu saya hanya mendengarkan, dan meminta saya senantiasa disiplin dengan protokol kesehatan (Prokes),” jelas Sava.
Yah, Sava dan ibunya cukup disiplin melakukan Prokes. Meski mereka kini lebih banyak berdiam di rumah pun karena aturan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Mereka juga cukup “cerewet,” kepada ayahnya Sava yang bekerja sebagai petugas security di salah satu perusahaan agar selalu Prokes.
“Aku dan Mama sering ingetin ayah, agar cuci tangan dengan sabun dan mandi segera setelah pulang dari kantor. Karena hanya ayah yang masih aktif pergi ke luar dan bekerja, karena tuntuan kerjanya seperti itu,” jelasnya.
Namun, COVID-19 masuk juga ke rumah mereka sekitar awal Juni 2021 lalu. Semula ibunya yang mengalami gejala awal COVID-19; demam tinggi disertai dengan hilangnya pengindra penciuman, dan gejala batuk dan flu. Namun berangsur membaik beberapa hari kemudian. Tetapi tidak lama Sava pun harus mengalami gejala yang sama, begitu juga dengan ayahnya. Mereka melakukan tes di Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), dan dinyatakan positif. Satu keluarga akhirnya harus melakukan isolasi mandiri di rumah. Namun kondisi ibunya mulai memburuk. Sava dan ayahnya sudah berusaha membujuknya agar mau di bawa ke rumah sakit, tapi ibunya takut. Terlebih jika di rumah sakit dia akan sendirian dan jauh dari keluarganya. Dia tidak ingin itu terjadi. Namun situasi makin memburuk, ibunya pun akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit, dan tidak tertolong ketika akan mendapatkan pertolongan di IGD (Instalasi Gawat Darurat).
“Saya tidak percaya ini terjadi dengan saya. Ibu saya meninggal, dan harus dibungkus plastik. Saya sangat sedih, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Saat ini saya dan ayah saya sudah sembuh. Saya semakin disiplin dengan Prokes. Begitu juga dengan ayah saya. Tidak sabar menunggu untuk di vaksin bulan September ini. Jangan sepelekan COVID-19, jangan sampai lengah!” jelasnya.
Sava merupakan satu dari enam siswa salah satu SMU yang ada di Jakarta Selatan terdampak COVID-19, yang mendapatkan bantuan tanggap darurat COVID-19 dari Yayasan Plan Internasional (Plan Indonesia). Bantuan tersebut diharapkan bisa memberikan semangat dan juga sebagai pengingat untuk senantiasa hidup bersih dan sehat. Ada Bantuan paket kebersihan diri, paket manajemen kebersihan menstruasi, dan paket pencegahan COVID-19. Bantuan ini merupakan cara Plan dalam melakukan tanggap darurat COVID-19 yang terjadi di Indonesia, terutama di wilayah yang merupakan episentrum COVID-19 seperti Jakarta, dan wilayah penyangganya yaitu Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor.
“Alhamdulillah bantuan ini penting banget buat saya. Bisa menghemat biaya pengeluaran di rumah juga. Apalagi kalau mau membeli pembalut juga cukup jauh dari rumah. Jadi sementara bisa menghemat dan pembalutnya sesuai dengan yang saya butuhkan,” jelas Sava.
Dalam merespons situasi ini, Plan Indonesia melakukan respons tanggap darurat COVID-19 di Jabodetabek yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan anak dan kaum muda, terutama perempuan. Bantuan kemanusiaan ini ditargetkan untuk menjangkau 1000 anak berusia 0-18 tahun yang terdiri dari 500 anak perempuan dan 500 anak laki-laki termarjinal di wilayah Jabodetabek. Melalui respons tanggap darurat COVID-19, Plan Indonesia berharap anak-anak terlindungi dari penyebaran COVID-19 dan hak anak terpenuhi, terutama bagi anak perempuan, anak dengan disabilitas, dan anak dari keluarga marjinal. (***)
Penulis: Musfarayani | Editor: Intan Cinditiara