Namanya Maria Getrudis (26 tahun). Namun, dia akrab disapa Ruth. Kamis (3/6/2022) siang itu, kami berbincang santai dengannya di bangku halaman depan Kantor Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Meskipun baru menempuh perjalanan jauh selama tiga jam dari desanya ke Kantor Plan dengan sepeda motor, tak tampak raut lelah di wajahnya. “Hari ini tidak hujan, sehingga perjalanan bisa lancar tiga jam. Kalau hujan, bisa lebih dari empat jam. Kadang kalau hujan, kami memilih menginap dulu di Mbay (ibukota Nagekeo), karena jalanan sulit dilalui,” cerita Ruth.
Rintangan medan tak pernah menyurutkan Ruth untuk aktif berkarya di Plan Indonesia. Dia adalah salah seorang fasilitator desa (Fasdes) dari program memilih masa depan (Mapan). Mapan merupakan salah satu program Plan Indonesia yang bertujuan menyiapkan anak-anak dan kaum muda, terutama perempuan dalam menyongsong masa depan. Mereka harus bisa memilih kapan harus berkeluarga, serta apa yang harus disiapkan secara mental dan fisik. Melalui program Mapan, Plan Indonesia mengajarkan bagaimana mempersiapkan masa depan melalui peningkatan kemampuan, seperti kesehatan reproduksi; dan menghindari beberapa perilaku berisiko, seperti pergaulan bebas dan seks bebas, perkawinan usia anak, narkotika dan obat-obatan terlarang, dan lain-lain.
Sebagai fasdes, Ruth selalu tampak antusias dalam melakukan pendampingan remaja-remaja anggota Mapan. Berkat antusiasmenya itu, perempuan yang menyelesaikan studinya di Universitas Timor (Unimor) Kefamenanu tahun 2019 ini, pun juga dipercaya menjadi relawan Plan Indonesia untuk membantu staf Plan Indonesia dalam melakukan aktivitas program dan proyek di desa dampingan, meski dia baru bersama Plan kurang dari setahun.
Berawal dari pandemi
Kebersamaan Ruth dengan Plan Indonesia berawal dari upaya Ruth yang secara mandiri mengumpulkan anak-anak di sekitar rumahnya, yang kebetulan masih ada hubungan keluarga, untuk belajar bersama di rumahnya. Saat itu, mereka masih menjalani pembelajaran online atau daring. Namun, karena tinggal di desa dengan akses jaringan internet yang sulit, membuat anak-anak itu kesulitan mengikuti pelajaran. Awalnya, Ruth hanya mengajar adik perempuan bungsunya yang sulit diatur sepeninggal ibunya. Namun, kemudian berinisiatif mengajak anak-anak di sekitar rumahnya untuk datang dan belajar bersama dan dia menjadi pengajarnya.
“Semuanya berjumlah 14 anak dan semuanya masih sepupu kandung. Setiap hari berkumpul untuk berlajar bersama,” kata Ruth.
Akhirnya anak-anak bimbingan Ruth itu menjadi dampingan Plan Indonesia melalui Mapan.
“Saya berterima kasih kepada Plan yang sudah memilih adik-adik saya, memberi dukungan kepada mereka dengan berbagai kegiatan sehingga bisa seperti ini. Kini mereka semakin rajin ke sekolah dan belajar, serta semakin mencintai apa adanya diri mereka sendiri seperti yang diajarkan di Mapan,” ungkap Ruth.
Ruth juga menyampaikan kesukaannya terhadap anak-anak, dan dari situlah ia mulai mengambil langkah maju untuk bergabung dengan Plan dalam menjalankan program di desa. “Saya menyukai anak-anak, makanya saya mencintai Plan,” pungkasnya.
Ditulis oleh: Agus Haru | Editor: Muhamad Burhanudin