Perkawinan Anak, Dini, dan Paksa (Child, Early, and Forced Marriage/CEFM) merupakan salah satu masalah hak asasi manusia yang secara secara signifikan berdampak bagi anak perempuan. Perkawinan anak menimbulkan beragam dampak negatif yang menghalangi jutaan anak perempuan untuk meraih potensi terbaik mereka.
Pada tahun 2030, diprediksi setidaknya lebih dari 800 juta perempuan akan merasakan dampak perkawinan anak, meningkat lebih dari 650 juta daripada angka saat ini dalam skala global.
Tantangan untuk menghapus perkawinan anak di Asia-Pasifik masih sangat sulit. Meskipun ada kemajuan yang cukup stabil di banyak negara di Asia-Pasifik untuk mengurangi perkawinan anak, praktiknya tetap meluas. Asia Selatan adalah wilayah dengan jumlah pengantin anak terbesar di Asia Pasifik. Lebih dari 12 juta anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap tahun. Angka ini setara dengan 23 perkawinan setiap menit atau satu anak perempuan setiap dua detik. Secara global, prevalensi perkawinan anak di wilayah Pasifik menduduki ranking tepat setelah Asia Selatan, di mana sekitar 8 persen anak perempuan menikah pada usia 15 tahun dan sekitar 26 persen anak perempuan menikah pada usia 18 tahun.
Di Asia Tenggara, tingkat perkawinan anak secara signifikan tinggi tetapi berfluktuasi di seluruh wilayah. Tingkat kelahiran dari ibu yang berusia remaja di Asia Tenggara saat ini adalah 47 kelahiran dari 1.000 remaja perempuan, lebih tinggi dari rata-rata Asia Selatan yakni 35 per 1.000 remaja perempuan. Di Indonesia sendiri, data global UNICEF pada tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-17 di Asia Pasifik dan ke-83 di dunia untuk perkawinan anak.
Aktivisme kaum muda
Di level regional, Plan International di Asia-Pasifik memprioritaskan penguatan aktivisme dan keterlibatan kaum muda untuk menghapus perkawinan anak di daerah-daerah, dengan melibatkan para pemimpin tradisional dan agama, berkampanye untuk mencegah dan mengakhiri perkawinan anak, penggunaan teknologi digital, platform siber dan solusi online, serta mempromosikan layanan responsif gender yang mudah diakses dan berkualitas. Berbagai upaya ini mencerminkan strategi yang terbukti efektif untuk menurunkan perkawinan anak, serta untuk mencegah dan mengurangi kehamilan remaja di Asia-Pasifik.
“Waktunya Bertindak! Lebih lantang dari kata-kata”, (Time to Act! Louder than Words) kumpulan kisah yang menampilkan aktivisme anak perempuan dan anak laki-laki ketika bekerja sama dengan Plan International dalam mengatasi dan melawan akar penyebab perkawinan anak dan mencapai pemberdayaan dan kesetaraan anak perempuan. Laporan ini juga bertujuan untuk mempromosikan upaya regional untuk mencegah dan mengakhiri perkawinan anak yang telah berkembang menjadi inisiatif regional yang disebut Time to Act!
“Setiap kisah aktivisme akar rumput berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Ini adalah kisah-kisah tentang tindakan yang telah menghasilkan banyak kemenangan kecil namun signifikan dalam melawan perkawinan anak. Saat kami menjelajahi kisah perjuangan ini, berbagai persamaan muncul dari latar belakang, karakter, plot, dan ketegangan dari kaum muda – serta bagaimana sebuah cerita diselesaikan, diakhiri, dan perlu kami pengaruhi,” ungkap Bhagyashri Dengle, Executive Director, Asia Pacific and Gender Transformative Policy & Practice, Plan International.
Suci (22 tahun), yang pernah menjabat sebagai Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Kediri, Nusa Tenggara Barat, menjadi kaum muda perempuan dari Indonesia yang membagikan ceritanya dalam laporan Time to Act! ini. “Sebagai pemimpin muda KPAD di desa, saya melihat potensi besar keterlibatan kaum muda dan partisipasi bermakna mereka dalam komunitas ini. Saat ini, anak perempuan dan anak laki-laki dapat menentukan sendiri kapan mereka ingin menikah, tanpa paksaan orang tua.”
Suci dan beberapa perempuan dan pemangku kepentingan lainnya di seluruh wilayah yang ditampilkan dalam 20 kumpulan cerita adalah pembuat perubahan yang berani dan pantang menyerah, serta berdiri teguh bersama Plan International dalam perjuangan mereka melawan perkawinan anak. Mereka menuntut masa kini dan masa depan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri dan kaum muda lainnya. Kisah-kisah aktivisme akar rumput ini membuktikan bahwa kisah-kisah tragedi juga bisa berubah menjadi kisah-kisah perjuangan dan kemenangan. ***
Baca laporan selengkapnya: