Matahari masih cukup terik di sore hari ketika kami mulai bergerak dari Lewoleba. Kami menjadi bagian dari program Melawat Indonesia Timur — bekerja sama dengan Tempo Institute dalam rangkaian ulang tahun Plan Indonesia yang ke-50. Perjalanan kami dihiasi dengan pemandangan eksotis, mengitari salah satu gunung yang terkenal di Lembata. Kami pun tak melewatkan kesempatan untuk sesekali memotret sebagai koleksi pribadi.
Desa yang kami singgahi cukup tandus dan panas. Kita sering mendengar bahwa biasanya di sana tampak para perempuan, termasuk anak-anak, membawa jerigen berisi air. Melihat kondisi desa yang berbukit-bukit, tentu hal ini menjadi usaha keras bagi mereka untuk mendapatkan air bersih. Kami pun ingin tahu lebih lanjut bagaimana kehidupan anak perempuan dan masyarakat pada umumnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), sehingga kegiatan Melawat Indonesia Timur ini diharapkan dapat menjadi jembatan pengetahuan, pemahaman, dan apa yang bisa kita lakukan bersama-sama dengan masyarakat Lembata.
Senja pun mulai menampakkan wajahnya ketika kami tiba di balai desa. Untuk pertama kalinya, kami bertemu dengan 14 anak dari tiga desa berbeda di Lembata yang akan bersama-sama mengikuti kegiatan Melawat Indonesia Timur. Sebelas orang di antaranya adalah Sponsored Child, penerima manfaat dari Plan Indonesia. Mereka tersenyum malu, berkenalan dengan kakak-kakak Plan Indonesia dan Tempo Institute. Begitu langit mulai gelap, kami semua menuju rumah warga di mana kami akan merasakan hidup bersama masyarakat setempat dalam beberapa hari ke depan; dengan listrik sangat terbatas dan sinyal yang nyaris tak ada.
Memahami Gender dan Inklusi: Menulis Kehidupan di Lembata
Cuaca hari itu begitu cerah dan para peserta menyambut kami dengan gembira. Pelatihan menulis Melawat Indonesia Timur pun dimulai dan berlangsung selama tiga hari (17-19 Juli 2019), dibuka oleh Kepala Desa setempat. Dalam sambutannya, beliau berharap anak-anak di Lembata nantinya dapat banyak belajar, berkembang, dan bersama-sama menciptakan perubahan.
Kegiatan Melawat Indonesia Timur di Lembata diawali dengan pengenalan gender dan inklusi. Difasilitasi oleh Rani Hastari, Gender and Inclusion Specialist dari Plan Indonesia, para peserta merefleksikan kehidupan mereka masing-masing sebagai perempuan dan laki-laki. Mereka menggambarkan bagaimana perempuan dan laki-laki biasa ‘ditampilkan’ dengan sudut pandang anak dan kaum muda. Selain itu, para peserta juga dipersilakan menulis secara bebas seperti apa pengalaman terkait gender dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi di rumah, masyarakat, sekolah, dan lain-lain yang dilanjutkan dengan diskusi. Melalui aktivitas ini, kami menemukan bahwa anak dan kaum muda, baik perempuan maupun laki-laki mengalami stigma masing-masing, bahkan di antaranya berujung perilaku berisiko dan kekerasan yang ‘dinormalisasi’. Beberapa pengalaman seperti kekerasan dalam berpacaran, perundungan ketika mengalami menstruasi, stigma bahwa perempuan tidak bisa memimpin, tekanan terhadap anak laki-laki untuk selalu kuat, tuntutan bagi laki-laki untuk melakukan pekerjaan berat, dan sebagainya ditulis oleh mereka. Penyampaian pengalaman ini cukup menantang; oleh karena itu, para peserta menuliskannya di kertas dan disampaikan dalam bentuk kelompok di mana mereka merasa lebih nyaman dan aman.
Namun, akan selalu ada harapan untuk mewujudkan kesetaraan. Pada akhir sesi, para peserta dapat membangun pemahaman mereka dan menyampaikan hal-hal yang perlu diciptakan dalam menghadapi stigma dan mewujudkan kesetaraan gender, khususnya untuk saling menghargai, mendukung, dan mendorong terpenuhinya hak-hak mereka. Kesetaraan gender bukan hanya isu perempuan dan bukan untuk ‘mengalahkan’ laki-laki. Harapan untuk mewujudkan kesetaraan gender semakin kuat, terutama ketika kami juga melihat bahwa kini di desa tersebut, anak laki-laki juga mulai turut membantu anak perempuan membawa air dan membersihkan sekolah – hal yang sebelumnya banyak dinilai sebagai ‘pekerjaan perempuan’.
Sementara itu, pelatihan menulis difasilitasi oleh Alya, Dika, dan Syailendra dari Tempo Institute. Para pengajar dari Tempo Institute kagum dengan kemampuan peserta yang ternyata sudah cukup baik dalam memahami unsur penting dalam penulisan (5W dan 1H) dengan kesalahan umum atau minor saja. Para fasilitator bersama para peserta pun mengeksplorasi teknik penulisan, khususnya mengenai sudut pandang. Mereka belajar bagaimana menulis sebuah cerita agar lebih hidup dan tersampaikan dengan baik. Melalui aspek sudut pandang, peserta memahami bagaimana penulis memandang atau menempatkan dirinya dalam cerita. Mereka dapat berkreasi untuk seolah-olah menjadi pelaku utama atau menjadi orang lain dalam cerita tersebut. Kegiatan ini berjalan interaktif dengan permainan dan latihan menulis di mana baik peserta perempuan maupun laki-laki dapat mengikuti serta menikmati pelatihan dengan baik.
Selain itu, di hari berikutnya, para peserta melakukan observasi dan wawancara. Para peserta dibagi dalam tiga kelompok dengan narasumber berbeda, yaitu bidan, para lansia (lanjut usia), serta penyandang disabilitas yang juga merupakan satu-satunya penjahit di desa itu. Melalui aktivitas ini, para peserta dapat memahami konteks gender dan inklusi dari berbagai perspektif, termasuk usia, profesi, hingga disabilitas. Dari kelompok yang bertemu bidan, dipahami bahwa profesi tersebut merupakan bentuk pengabdian serta terbatasnya pilihan pekerjaan bagi perempuan. Hal ini juga berkaitan dengan sesi gender ketika para peserta menyampaikan cita-citanya, anak perempuan pada umumnya ingin menjadi guru dan bidan. Selanjutnya, bagi mereka yang mewawancarai para perempuan lansia, peserta menyadari bahwa perempuan pun bisa kuat, berdaya, sehat, dan terus aktif meskipun usia tidak lagi muda.
Dalam memahami inklusi, salah satu kelompok berbagi cerita dengan penyandang disabilitas yang bernama Valerius. Ia mengalami hambatan fisik dan didukung dengan menggunakan kursi roda untuk aktivitas sehari-hari. Tinggal di atas bukit yang curam, Valerius mengungkapkan bahwa ia ingin berinteraksi dan turut terlibat dalam kegiatan desa – di mana selama ini belum ada kesempatan tersebut. Sejak menjadi penyandang disabilitas, laki-laki berusia 36 tahun ini belajar dan mengeksplor kemampuannya untuk menjadi penjahit. Kini ia menjadi tulang punggung keluarga yang terus menunjukkan semangat sebagai satu-satunya penjahit di desa dan kecamatan tersebut. Selain itu, ia juga memiliki bakat dan kemampuan menulis; para peserta mendapat kesempatan untuk membaca langsung tulisan pengalaman hidup Valerius yang dituangkan dalam buku folio setebal 69 halaman penuh.
Mewujudkan Pembangunan yang Inklusif dan Mendukung Kesetaraan Gender
Melibatkan perempuan dan penyandang disabilitas dalam aktivitas pembangunan sangat diperlukan. Hal ini menunjukkan dukungan dan keberpihakan kepada mereka, serta sebagai bentuk keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Kepala Desa setempat, Silverius Arakian, menyampaikan, “Selama ini, pihak pemerintah desa selalu melibatkan anggota keluarga untuk menyuarakan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Ke depannya, kita akan mengupayakan semua orang penyandang disabilitas bisa terlibat langsung dalam pertemuan-pertemuan yang kita langsungkan di desa. Terkait gender, kami sudah melibatkan beberapa perempuan dalam struktur organisasi desa, seperti menjadi Kepala Dusun, Rukun Tetangga, dan juga menjadi bagian dari kepanitiaan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan.”
Selain itu, mengenai keberagaman, Lembata didukung oleh kerukunan dalam masyarakatnya. Kami juga menyaksikan hal ini dalam perjalanan menuju desa dari Lewoleba. Mobil yang kami tumpangi sempat bergerak perlahan karena ada kerumunan orang di pinggir jalan. Rupanya, masyarakat setempat sedang mengadakan acara adat pernikahan. Terlihat warga muslim turut berpartisipasi dengan penduduk setempat yang mayoritas Katolik. Warga yang memiliki hajat menjadikan babi sebagai simbol, bagian dari kesepakatan adat. Suasana terlihat damai dan gembira di tengah perbedaan. Aspek yang mendukung keberagaman ini menjadi nilai penting untuk mendukung pembangunan di mana peran dan manfaatnya dapat dirasakan oleh semuanya, terlepas dari etnis, agama, dan budayanya.
Rangkaian kegiatan Melawat Indonesia Timur di Lembata ini pun disambut baik oleh perangkat desa, penduduk setempat, serta para peserta sendiri. Pada hari terakhir, para peserta berbagi cerita masing-masing. Mereka pun memiliki kesempatan untuk menghasilkan karya setelah pelatihan berakhir. Theodorus, salah satu peserta mengungkapkan, “Saya merasa sangat senang karena melalui pelatihan ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran dan ilmu terutama dalam hal menulis dan juga tentang gender. Semoga kegiatan ini terus dilaksanakan dan kakak-kakak dari Plan tetap mendampingi kami dalam belajar.”
Senja terakhir, semangat baru lahir dari anak dan kaum muda yang telah menyelesaikan pelatihan ini. Sebagaimana sambutan pada awal kegiatan, mereka dapat menjadi agen perubahan, terutama dalam mengkampanyekan pemenuhan hak-hak anak serta kesetaraan bagi anak perempuan.
Oleh:Rani Hastari & Agus Haru