10 FEBRUARI 2021
Gerakan Bersama untuk Penghapusan Kekerasan pada Anak di Indonesia (Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children atau IJF EVAC) menyayangkan dan menentang tindakan Aisha Weddings sebagai pelaku usaha yang mempromosikan perkawinan yang melibatkan usia anak melalui flyer dan spanduk. Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Kami ingin menekankan lagi kepada pelaku usaha, orangtua, dan seluruh elemen masyarakat bahwa isu ini bukan hanya soal perkawinan, tetapi perampasan hak-hak anak akan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hampir semua atau 94% anak perempuan dan 91% anak laki-laki yang dikawinkan putus sekolah menurut data SUSENAS Maret 2018. Anak yang dikawinkan kemungkinan besar akan hamil dan melahirkan anak, yang berisiko besar bagi kesehatan mereka. Komplikasi saat kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun di seluruh dunia, menurut penelitian Darroch, Woog, Bankole, dan Ashford yang diterbitkan oleh WHO pada tahun 2016. Beban psikologis yang harus dihadapi anak dalam membangun hubungan rumah tangga dan merawat anak, bahkan kekerasan dalam rumah tangga, akan berdampak buruk bagi perkembangan anak dalam jangka panjang termasuk menghambat anak menjadi anggota masyarakat yang produktif. Perlu diingat bahwa 1 dari 4 perempuan dalam perkara perceraian menikah dalam usia anak, dan dalam lebih dari 500.000 putusan perceraian yang dianalisis menggunakan teknologi mesin pembaca, 24% istri menikah dalam usia anak dibandingkan dengan 2% suami yang menikah ketika masih anak.
Promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh Aisha Weddings merefleksikan fenomena “gunung es” perkawinan anak di Indonesia. Data Hasil SUSENAS tentang Perkawinan Anak tahun 2018 memperkirakan terdapat 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, menempatkan Indonesia di peringkat ke delapan di dunia dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Pada tahun 2019, prevalensi perkawinan anak di Indonesia adalah 10,82%, dengan perbandingan prevalensi perkawinan anak yang terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki adalah 18,47% berbanding 2,27%.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sudah direvisi melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Republik Indonesia hanya mengizinkan perkawinan bagi yang sudah berusia 19 tahun ke atas. Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) pun sudah diluncurkan di awal 2020. Akan tetapi, bukan berarti usaha mencegah perkawinan anak, dan membantu anak-anak yang sudah terlanjur dikawinkan untuk keluar dari masalahnya, sudah selesai. Undang-Undang masih mengizinkan masyarakat untuk mengajukan dispensasi jika ingin mengawinkan anaknya. Selama Januari-Juli 2020 (tujuh bulan), Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menerima 35.441 perkara dispensasi kawin anak/orang muda di bawah 19 tahun, atau meningkat tajam dibanding 28.864 perkara yang diterima selama tahun 2019 (dua belas bulan). Sekali lagi, angka ini tidak menunjukkan kenyataan yang sebenarnya karena penelitian Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) pada tahun 2019 memperkirakan hanya di bawah 5% perkawinan anak perempuan yang sebelumnya dibawa ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Kemudian, hanya 3 dari 10 permintaan dispensasi saja yang dipicu oleh kehamilan anak/remaja. Artinya, masih banyak yang menganggap perkawinan anak adalah hal yang lumrah dilakukan. Kontroversi yang dibuat oleh Aisha Weddings hanyalah masalah dipermukaan dari akar masalah perkawinan anak, termasuk kemiskinan dan norma sosial budaya patriarki.
Merespon kontroversi iklan perkawinan anak, perkawinan siri dan poligami oleh Aisha Weddings dan mempertimbangkan bahaya-bahaya perkawinan anak, maka IJF EVAC meminta pemerintah untuk:
- Memproses secara hukum organisasi atau Lembaga yang terbukti mempromosikan perkawinan anak
- Menerapkan Pasal-pasal pencabutan kuasa asuh orangtua sesuai Undang-undang Perlindungn Anak karena mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua (Pasal 26(1)).
- Memperkuat pengetahuan dan kapasitas hakim di seluruh Indonesia dengan mempromosikan Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dibarengi dengan pelatihan hak anak dan kesetaraan gender;
- Memperbanyak kampanye anti perkawinan anak di tingkat komunitas lokal;
- Memperkuat resiliensi anak agar anak mampu mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya tanpa ada tekanan dari orang tua, keluarga, dan masyarakat.
AKHIR
Semua data yang dikutip dalam dokumen ini diambil dari Buku Saku Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
Jika ada pertanyaan lanjutan atau permintaan untuk mengakses pernyataan ini, silahkan hubungi:
Dewi.Sumanah@savethechildren.org
———
Gerakan Bersama untuk Penghapusan Kekerasan pada Anak di Indonesia (Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children atau IJF EVAC) merupakan bagian dari gerakan global untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan pada anak dan terdiri dari 6 (enam) organisasi hak anak (Childfund International di Indonesia, Yayasan Plan International Indonesia, Save the Children Indonesia, SOS Children’s Village Indonesia, terre des hommes Germany bersama Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak/PKPA dan Wahana Visi Indonesia). Pembentukan IJF ini untuk membantu Pemerintah Indonesia yang telah mendeklarasikan Indonesia sebagai negara pembuka jalan bagi upaya penyadaran, pencegahan dan penanganan berbagai tindak kekerasan pada anak.