Dalam satu bulan terakhir Indonesia diramaikan dengan semakin banyaknya pemberitaan tentang berbagai kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan. Di perguruan tinggi, ditemukan kasus pelecehan seksual oleh oknum Dekan di Universitas Riau, kemudian kasus serupa kembali terjadi di Universitas Sriwijaya.
Tidak hanya di perguruan tinggi, kasus kekerasan seksual juga terjadi di pondok pesantren. Sedikitnya 12 anak di Bandung menjadi korban pencabulan oleh pemilik pondok pesantren. Pencabulan tersebut telah menyebabkan delapan santri perempuan mengalami kehamilan tidak diinginkan bahkan sampai melahirkan bayi. Belum selesai penanganan kasus di Bandung, kasus serupa kembali muncul di Tasikmalaya. Seorang Guru melakukan pencabulan kepada santri perempuan dengan memanfaatkan kondisi mereka yang sedang sakit. Pada bulan September, sebelum dua kejadian ini, seorang ustaz mencabuli 34 santri perempuan.
Kekerasan seksual di institusi pendidikan seringkali sulit diungkap. Relasi kuasa yang timpang, penyalahgunaan dalil agama yang kerap digunakan pendidik, turut menyebabkan korban enggan melaporkan kasusnya. Dalih menjaga nama baik institusi pendidikan sering digunakan dengan memberikan sanksi internal yang mengakibatkan pelaku mendapatkan kekebalan hukum dan kekerasan seksual menjadi berulang dalam waktu yang lama.
Situasi ini memperlihatkan darurat kekerasan seksual dalam institusi pendidikan. Berbagai kasus kekerasan seksual harus segera dicegah dan ditangani dengan serius oleh pembuat kebijakan, penegak hukum maupun institusi pendidikan yang menjadi lokus kegiatan pembelajaran anak dan kaum muda. Menurut data Simfoni, korban kekerasan tertinggi adalah anak usia 13-17 tahun, yang umumnya merupakan pelajar tingkat SMP dan SMA. Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki adalah 6,36% dan 6,28% pada anak perempuan. Artinya sekitar 6-7 anak dari setiap 100 anak pernah mengalami kekerasan.
Pemerintah harus segera mengambil langkah serius dalam menanganinya. Sejatinya lembaga pendidikan merupakan wadah penciptaan sumber daya manusia berkualitas yang akan menjadi penopang kemajuan bangsa dan negara di masa depan. Lembaga pendidik dan tenaga pendidik seharusnya menjadi pelindung para murid didiknya. Kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan, serta pembiaran yang terjadi akan menghancurkan masa depan generasi muda dan kemajuan bangsa Indonesia.
Sebagai lembaga yang fokus pada pemenuhan hak-hak anak, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam kepada seluruh anak yang menjadi korban. Berbagai kasus kekerasan seksual merupakan salah satu penghambat yang harus segera dihentikan dan pemulihan korban harus menjadi prioritas yang harus dilakukan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi korban. Oleh karena itu negara wajib hadir untuk mengakselerasi penangangan segala bentuk kekerasan seksual pada anak sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak. Selain itu kami juga ini menyampaikan pentingnya upaya pencegahan agar hal serupa ini tidak berulang. Oleh karena itu, dengan ini Plan Indonesia meminta kepada:
- Pimpinan DPR RI, Ibu Puan Maharani dan seluruh anggota DPR untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang kini sudah menjadi inisiatif DPR.
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan layanan pendampingan psikologis kepada seluruh korban anak guna pemulihan kondisi fisik dan psikis, serta memberikan pendampingan dan dukungan kepada keluarga korban agar memberikan situasi yang menguatkan korban.
- Mendesak kepada aparat penegak hukum untuk mempidanakan tersangka serta memberikan hak restitusi bagi semua korban.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memastikan para korban tetap mendapatkan pendidikan selama dalam proses pemulihan dan reintegrasi sosial.
- Meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk secara masif mensosialisasikan Permendikbudristek No.30/ 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi guna menciptakan kondisi kampus yang bebas dari kekerasan seksual, serta menyusun Peraturan Menteri serupa untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di tingkat PAUD, SD, SMP, dan SMA atau sederajat.
- Perlu adanya satuan gugus tugas di lembaga pendidikan untuk menangani pelaporan kekerasan seksual, seperti optimalisasi fungsi dan peran para guru bimbingan konseling (BK) di sekolah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perlu melakukan penguatan kapasitas dan responsivitas para guru agar BK agar dapat turut serta mencegah dan menangani pelaporan kasus kekerasan seksual.
- Meminta Kementerian Agama membuat aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di berbagai insitusi pendidikan berbasis agama seperti pondok pesantren dan melakukan evaluasi pelaksanaan pembelajaran di seluruh lembaga pendidikan berbasis agama tersebut untuk mencegah terjadinya kasus serupa.
- Memperkuat kapasitas Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) atau Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) sebagai penghubung dan garda terdepan di tingkat komunitas guna membantu pemerintah dalam upaya melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual sekaligus memberikan langkah pertama (referral) penanganan kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Kepada segenap bangsa Indonesia, sudah saatnya bersikap tegas dalam menolak segala bentuk kekerasan seksual, khususnya di dunia pendidikan.