Sebelum pulang, saya memberi semangat kepada teman-teman untuk terus bekerja sama mewujudkan harapan yang telah kami tuangkan. Pulang dengan harapan untuk meneruskan ilmu dan semangat yang mama Baha tanamkan, dengan tekad untuk menjadi petani muda yang juga mampu membawa perubahan.
Saya Ema, seorang perempuan muda dari Lembata, dengan ketertarikan yang mendalam terhadap dunia pertanian. Dibesarkan dalam keluarga yang akrab dengan alam, saya sejak kecil menyaksikan bagaimana bercocok tanam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami.
Cerita ini dimulai ketika saya terpilih sebagai peserta pelatihan pertanian cerdas iklim untuk kaum muda. Pelatihan ini diikuti oleh 15 peserta dari tiga desa, masing-masing mengirimkan lima orang muda. Lokasi pelatihan yang berjarak sekitar tiga jam dari desa kami, kegiatan ini menawarkan kesempatan berharga bagi saya, tinggal langsung bersama warga setempat selama tiga hari, menjadikan pengalaman ini semakin istimewa dan bermakna.
Setelah perjalanan panjang yang menyenangkan, kami akhirnya tiba di desa Wowong. Begitu turun dari bus di siang hari, kami langsung merasakan kehangatan masyarakat yang menyambut kami dengan ramah dan penuh semangat. Dalam suasana yang hangat ini, kegiatan pun dimulai dengan sambutan dari panitia penyelenggara, dilanjutkan oleh sambutan dari Kepala Desa Wowong. Dalam sambutannya, beliau mengambil kesempatan untuk membagikan cerita penting tentang sejarah lahan pertanian desa ini. Beliau menjelaskan bahwa lahan yang kini akan kita lihat nanti dulunya mengalami kerusakan akibat banjir bandang yang disebabkan oleh bencana Seroja pada tahun 2021. Untuk pemulihan, pemerintah desa bekerja sama dengan Plan Indonesia guna membantu warga terdampak melalui program pemulihan ekonomi. Hasil dari kerja sama ini kini terlihat nyata, lahan yang dulunya rusak kini kembali produktif dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. “Hasil dari upaya bersama ini kini terlihat nyata,” tambah beliau.
Seiring waktu, masyarakat mulai beraktivitas kembali, banyak yang beralih dari melaut ke bertani. Keputusan ini bukan hanya untuk memperbaiki perekonomian mereka, tetapi juga untuk membangun ketahanan desa terhadap cuaca ekstrem di masa mendatang.
“Beliau menambahkan bahwa dahulu sebagian besar masyarakat Wowong bekerja sebagai nelayan. Namun, karena hasil tangkapan menurun dan cuaca sering tidak menentu, banyak warga beralih ke sektor pertanian. Kini, banyak lahan di desa dimanfaatkan untuk budidaya hortikultura, menjadikan pertanian sebagai sumber penghidupan yang lebih stabil bagi keluarga di desa ini.”
Jujur saja, awalnya saya ragu melihat tanah berpasir di sekitar sini. Terlintas di pikiran, bagaimana bisa praktik pertanian dilakukan di lingkungan seperti ini? Keraguan saya tetap ada ketika kami diajak mendengarkan materi pengantar di pantai wisata yang asri, membuat saya semakin penasaran bagaimana cara pertanian akan diterapkan di desa yang pernah terjadi banjir bandang.
Menjelang sore, kami dibagi menjadi tiga kelompok, bercampur dengan peserta dari desa lain. Saya dipercaya menjadi ketua kelompok, meski anggota kelompok saya semuanya laki-laki. Awalnya, ada rasa ragu, bisa tidak ya saya berkolaborasi dengan teman-teman baru ini? Namun, berkat bantuan fasilitator yang membuat suasana lebih akrab, kami mulai bekerja sama dengan baik.
Saya pun berinisiatif membagi peran di antara anggota kelompok agar setiap langkah yang kami lakukan sesuai dengan materi. Dengan bersemangat, kami diajak mengunjungi kebun contoh yang dikelola oleh petani setempat, dan ternyata banyak sekali tanaman hortikultura yang tumbuh subur di sini! Pemandangan itu membuat saya semakin antusias untuk mengikuti rangkaian pelatihan hingga akhir. Kami juga berbagi cerita dengan para petani setempat, mendiskusikan apa yang kami temukan. Jika ada hal yang kami lewatkan, para petani membantu menambahkannya.
Di hari kedua, kami melakukan praktik langsung di kebun, mulai dari memasang irigasi tetes, membentangkan mulsa plastik, membuat pupuk bokasi, penyemain benih hingga menanam bibit. Belajar dari langsung di lapangan membuat saya lebih paham tentang setiap langkah yang diperlukan, dan saya mencatat bahan-bahan serta tahapannya dengan rapi.
Saat praktik di kebun, saya sempat mengobrol dengan mama Baha, seorang petani perempuan yang penuh semangat dan ramah. Penampilannya sederhana, tetapi caranya menjelaskan selalu menarik perhatian saya. Setiap kali ia berbicara, mama Baha mampu menghidupkan suasana dengan cerita-cerita segarnya yang penuh keceriaan, membuat kami, para peserta, merasa lebih santai. Sesekali, ia melontarkan hal-hal lucu yang spontan, dan kami tertawa terbahak-bahak bersama.
Di balik keceriaannya, mama Baha adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak lagi muda. Ia bercerita tentang bencana banjir bandang yang pernah dialaminya, yang merendam rumah dan menghanyutkan sebagian besar ternaknya. Meski begitu, energinya tetap setara dengan kami para peserta. Beliau menunjukkan keuletan luar biasa dalam bertani, yang ternyata turut menginspirasi anak laki-laki pertamanya. Anaknya, yang juga terlibat dalam kelompok tani, hadir sebagai salah satu narasumber pada pelatihan ini. Melihat bagaimana mereka bekerja sama dalam bertani, saya merasa mendapatkan pelajaran berharga, menjadi petani tidak hanya soal menanam, tetapi juga soal membangun semangat bersama keluarga dan komunitas. Inspirasi dari Mama Baha benar-benar menumbuhkan tekad saya untuk lebih serius dalam menekuni dunia pertanian.
Sosoknya bagi saya lebih dari sekadar petani, ia adalah seorang pemimpin perempuan sejati yang mampu memberikan contoh nyata tentang ketekunan dan kebersamaan. Melihatnya memimpin diskusi dan praktek bersama dengan cara yang hangat dan penuh semangat, saya belajar bahwa kepemimpinan tak hanya hadir dalam wujud formal, tetapi juga dalam tindakan sehari-hari yang berdampak pada orang di sekitar.
Saya merasa terdorong untuk menerapkan semangat yang sama, dalam pengalaman saya memimpin kelompok selama tiga hari. Setiap pagi, saya bangun lebih awal, menyiapkan catatan, dan memikirkan cara terbaik untuk membagi tugas kepada teman-teman. Awalnya, ada perasaan gugup, takut kalau-kalau teman-teman tidak sependapat atau saya tidak bisa mengarahkan mereka dengan baik. Tapi ternyata, setiap kali saya membagi peran, teman-teman sangat mendukung dan antusias membantu. Keraguan yang semula ada mulai sirna saat kami bekerja sama, dan ternyata mereka justru senang jika ada arahan yang jelas. Semakin hari, saya makin percaya diri dalam memimpin.
Di hari terakhir, saya sadar bahwa tanggung jawab seorang pemimpin bukan hanya soal memberi arahan, tapi juga mendengarkan. Saya memastikan setiap ide dari anggota kelompok terekam dalam bentuk gambar, lalu kami sama-sama menyusun langkah-langkah yang ingin dicapai dalam beberapa bulan ke depan. Melihat semangat teman-teman, saya merasa bangga telah dipercaya dalam kelompok ini, dan saya pun bertekad untuk memulai mimpi ini dari desa kami sendiri.
Pelatihan ini juga membangkitkan impian saya untuk menjadi petani muda. Melihat langsung bagaimana para petani di desa pesisir ini merawat tanaman mereka, mendengar cerita perjuangan mereka menghadapi cuaca extrem, serta belajar teknik-teknik pertanian cerdas iklim membuat tekad saya semakin bulat.
Saya juga akan meminta izin untuk memanfaatkan lahan milik kakek yang dulu pernah ditanami sayuran. Terbayang sudah bagaimana lahan itu akan hijau lagi dengan tanaman kangkung, sawi, dan cabai, terong persis seperti yang dilakukan mama Baha di kebunnya. Semoga keluarga mendukung impian saya menjadi petani muda yang bisa bermanfaat bagi desa kami.
Mengakhiri pengalaman ini, saya merasa mama Baha telah meninggalkan jejak mendalam dalam kesempatan bertemu dengannya, walau hanya 3 hari. Kesempatan untuk berkolaborasi lintas usia, antara kaum muda, orang tua, dan para petani dari berbagai latar belakang telah membuka wawasan baru bagi saya. Kehadiran mereka dalam pelatihan ini memperkuat pandangan saya bahwa pertanian bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga tentang kerja sama yang menyatukan seluruh elemen komunitas.