Sumber: Tempo.co
Dalam dunia virtual di masa ini, banyak anak dan remaja perempuan yang dilecehkan serta mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Sebuah survei dari Plan International yang melibatkan 14.000 anak perempuan berusia 14-25 tahun di 22 negara, termasuk Brasil, Benin, Amerika Serikat (AS) dan Indonesia menunjukkan bagaimana pelecehan yang mereka alami di platform media sosial mendorong mereka untuk keluar dari ruang maya.
Survei menunjukkan bahwa 58% dari perempuan mengalami sebuah bentuk pelecehan secara online. Sebanyak 50% dari partisipan juga mengaku lebih banyak menghadapi pelecehan online daripada offline. Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online
Pelecehan terhadap perempuan di ranah online muncul dalam berbagai bentuk. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) melansir sebuah panduan pengenalan modus dan tipe-tipe KBGO. Panduan ini mencangkup berbagai kegiatan online yang terhitung sebagai bentuk pelecehan.
Pelecehan yang umumnya dikenal, muncul dalam bentuk komentar kasar, ujaran kebencian, dan ancaman kekerasan seksual dan fisik. Bentuk lain adalah perusakan reputasi atau kredibilitas seperti membuat atau memanipulasi konten palsu dan mencuri identitas dan impersonasi.
Selain itu dalam ranah pornografi non-konsensual, korban dapat menerima berbagai bentuk konten online tak konsensual baik dari orang yang dikenal ataupun orang asing, atau juga mendapati konten foto atau video seksual mereka disebarkan tanpa persetujuan dalam kasus yang sering disebut sebagai cyber atau revenge porn.
Berbagai kasus pengawasan dan pemantauan seperti penguntitan menggunakan GPS atau spyware tanpa persetujuan juga termasuk dalam KBGO. Selain itu doxing atau menggali dan menyebarkan informasi pribadi tanpa persetujuan untuk tujuan jahat dan intimidasi juga merupakan bentuk pelecehan yang kerap ditemukan.Platform sosial media yang tidak aman
Kasus KBGO ini ditemukan di berbagai platform media sosial yang populer. Insiden paling umum terjadi di Facebook, di mana 39% wanita mengalami pelecehan. Angka ini kemudian diikuti oleh Instagram (23%), Whatsapp (14%), Snapchat (10%), Twitter (9%) dan TikTok (6%).
Penelitian menunjukkan bahwa satu dari lima anak perempuan telah menghentikan atau mengurangi penggunaan media sosial mereka setelah serangan semacam itu, sedang satu dari sepuluh mengubah cara mereka mengekspresikan diri secara online sebagai bentuk perlindungan diri.
Jenis serangan yang paling umum adalah bahasa kasar dan penghinaan, yang mempengaruhi 59% responden survei. Bodyshaming dan ancaman kekerasan seksual juga mempengaruhi 39% dari responden. Serangan terhadap etnis minoritas yang dibumbui rasisme serta komunitas LGBTIQ+ sendiri jauh lebih tinggi. Perempuan Indonesia angkat suara
“Saya sering menghadapi pelecehan secara online ataupun di publik, dan itu membuat saya merasa tidak aman, karena setiap waktu, apapun yang saya lakukan di media sosial akan terus dikomentari orang. Saya harus menutupi rambut saya, atau mengenakan gaun panjang, dan lain sebagainya. Saya merasa tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas,” kata salah satu perempuan Indonesia berusia 19 tahun yang diwawancarai dalam survei ini.
Seorang perempuan lain berujar bagaimana pelecehan seksual secara online ini tidak hanya hadir dalam bentuk komentar di foto. Ia menemukan bagaimana beberapa orang menyebar foto-fotonya miliknya atau menggunakan foto-foto tersebut tanpa persetujuannya seperti mengunggahnya ke profil milik sendiri. Ketika ia berusaha menegur sang pelaku, ia berdalih bahwa sang perempuan terlihat cantik dan yang ia lakukan bukanlah pelecehan melainkan sebuah pujian.
Tidak hanya foto, beberapa perempuan juga diserang karena opini mereka. Aktivis secara khusus menjadi target KBGO di dunia maya. Seorang aktivis perempuan di Indonesia menyampaikan bagaimana ia kerap mendapat komentar antifeminis yang dikombinasikan dengan pesan-pesan agama. “Saya mengunggah foto saya sedang berada di pantai dengan kaki saya yang sedikit terlihat. Seseorang kemudian berkata, ‘Tubuhmu adalah milik Tuhan. Kau harus menutupinya dan jangan mengenakan pakaian seperti itu.’ Mereka berkata saya harus merasa takut karena tindakan saya akan membuat orang tua saya masuk neraka,” ujar sang gadis berusia 19 tahun tersebut.
Survei Plan International mengemukakan bahwa di Indonesia sendiri, 38% responden mengalami KBGO. Angka ini terlihat jauh di bawah angka rata-rata global di 58%. Meski demikian, angka kasus KBGO sendiri meningkat. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang memberi laporan akan kasus pelecehan terhadap perempuan di tahun 2019 menunjukkan kenaikan pengaduan kasus cyber crime sebesar 300% (dari 97 kasus di tahun 2018 menjadi 281).
Dari berbagai bentuk KBGO yang diadukan kepada Komnas Perempuan, kasus daring terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.
Seperti dilansir dari Kompas, Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan bagaimana dalam kasus ini, kebanyakan pelaku merupakan orang-orang yang berada di lingkungan terdekatnya seperti pasangan ataupun mantan pasangan korban.
Maraknya kasus KBGO sendiri ini menjadi alasan mengapa aktivis perempuan Indonesia mendesak pengesahan RUU PKS. Tanpa RUU PKS, kasus seperti ini akan sulit untuk ditindaklanjuti di ranah hukum.Harus melindungi diri sendiri
“Serangan ini mungkin tidak terjadi secara fisik, namun sering mengancam, tanpa henti, dan membatasi kebebasan berekspresi perempuan,” kata Anne-Birgitte Albrectsen, CEO Plan International. Gadis-gadis itu “dibiarkan menangani kekerasan online sendiri, dengan konsekuensi yang mendalam bagi kepercayaan diri dan kesejahteraan mereka,” tambahnya.
Survei Plan International menunjukkan bahwa perempuan-perempuan ini mengharapkan berbagai perubahan untuk memerangi permasalahan ini, dari edukasi akan KBGO hingga campur tangan hukum dan pemerintah serta pentingnya mekanisme pelaporan lewat platform sosial media.
Facebook dan Instagram sendiri mengatakan bahwa mereka memantau laporan penyalahgunaan dan menggunakan sebuah program untuk mencari konten penindasan. Twitter juga mengatakan pihaknya telah menggunakan teknologi untuk menghentikan konten yang melecehkan, walau sebuah studi melaporkan bahwa alat yang dikembangkan Twitter tersebut tidak efektif dalam menghentikan penyalahgunaan.
Di Indonesia sendiri, Komnas Perempuan mencatat berbagai hambatan yang masih muncul dalam pengatasan kasus KBGO yang terus meningkat ini, seperti kegagalan pengesahan RUU PKS di detik-detik terakhir. (st/pkp)