Jakarta, 13 Oktober 2022–Partisipasi politik anak dan kaum muda perempuan di Indonesia tergolong tinggi. Kepedulian mereka terhadap isu-isu politik pun besar. Namun demikian, tingginya partisipasi dan kepedulian tersebut tak berbanding lurus dengan terserapnya aspirasi mereka, khususnya terkait pembuatan keputusan yang berdampak pada kehidupan, tubuh, dan masa depan mereka.
Demikian Laporan State of the World’s Girls (SOTWG) yang diluncurkan oleh Plan International pada tanggal 12 Oktober 2022, bertepatan dengan peringatan Hari Anak Perempuan International 2022. Dalam laporan tersebut terungkap, 98% anak dan kaum muda perempuan Indonesia yang disurvei menyatakan bahwa partisipasi politik itu penting. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata angka global yang sebesar 97%. Hanya sedikit bagi anak dan kaum muda perempuan di Indonesia, yang menganggap partisipasi politik tidak penting.
Direktur Influencing Plan Indonesia Nazla Mariza, Kamis (13/10/2022), mengungkapkan, Indonesia merupakan satu dari 29 negara di mana penelitian ini dilaksanakan. Laporan SOTWG 2022 ini didasarkan pada survei skala besar terhadap hampir 29.000 anak dan kaum muda perempuan berusia 15-24 tahun dari 29 negara yang mencakup semua wilayah, tingkat pendapatan, dan konteks sipil. Selain itu, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan 94 anak dan kaum muda perempuan di 18 negara.
“Ada sekitar 1.000 anak dan kaum muda perempuan berusia 15-24 tahun di Indonesia yang terlibat sebagai responden. Mereka mayoritas atau sekitar 65% berusia 20-24 tahun dari berbagai latar belakang yang berbeda,” kata Nazla.
Laporan tersebut mengungkapkan, lima isu yang paling banyak mendapatkan perhatian responden yang disurvei secara global antara lain: kemiskinan dan pengangguran (55%); konflik dan perdamaian, kekerasan dan kejahatan masyarakat (53%); masalah lingkungan, termasuk polusi dan perubahan iklim (52%), kesehatan mental dan fisik, termasuk kesehatan seksual, reproduksi dan hak (47%); dan akses ke pendidikan 41%).
Prioritas isu anak dan kaum muda perempuan di Indonesia sebagian besar sejalan dengan rata-rata global. Namun, isu-isu utama, seperti kemiskinan, pengangguran, kekerasan, dan konflik, mendapatkan persentase perhatian lebih tinggi di mata remaja perempuan dan perempuan muda di Indonesia. Riciannya adalah sebagai berikut: kemiskinan dan pengangguran (69%), konflik dan perdamaian, kekerasan dan kejahatan masyarakat (64%), akses pendidikan (47%), mental dan kesehatan fisik, termasuk kesehatan dan hak seksual dan reproduksi (42%), dan tanggapan COVID-19 (42%). Isu yang menerima suara paling sedikit adalah kekurangan sumber daya (19%), kekerasan berbasis gender (26%), dan penyalahgunaan online dan informasi yang salah (33%).
Penelitian tersebut juga mengungkapkan, secara global, hanya 11% anak dan kaum muda perempuan yang mengatakan bahwa mereka umumnya senang dengan keputusan para pemimpin politik mereka, sedangkan di Indonesia, angka ini jauh lebih tinggi, yaitu 24%. Secara global, mayoritas responden yang menyatakan pandangan menunjukkan bahwa mereka mengalami perasaan negatif akibat keputusan politik pemimpin.
“Sementara, di Indonesia, meskipun sebagian besar anak dan kaum muda perempuan mengungkapkan beberapa sentimen negatif, mereka secara keseluruhan lebih positif daripada rata-rata global. Misalnya, 5% merasa secara fisik tidak aman dari tindakan pemimpin politik, dibandingkan dengan 28% secara global dan 13% merasa sedih atau tertekan, dibandingkan dengan 34% secara global,” ungkap Nazla.
Kurang Didengar
Secara global, 94% responden survei mengidentifikasi bahwa anak dan kaum muda perempuan menghadapi tantangan ketika mencoba untuk berpartisipasi dalam politik. Sebaliknya, di Indonesia, angka ini lebih rendah sebesar 69%.
Tantangan teratas yang dipilih oleh responden secara global adalah: politisi tidak mendengarkan anak dan kaum muda perempuan (35%); keurangnya politisi untuk menginspirasi keterlibatan (32%) dan politik tidak terbuka untuk partisipasi perempuan muda atau anak perempuan (31%). Demikian pula di Indonesia, politisi cenderung tidak mendengarkan anak dan kaum muda perempuan (29%), diikuti oleh politisi yang tidak berbicara tentang isu-isu yang mempengaruhi anak dan kaum muda Perempuan (25%), dan kurang paham tentang masalah politik (23%).
Chief Executive Officer (CEO) Plan International, Stephen Omollo, mengatakan, penelitian ini menemukan, anak perempuan adalah politik, dan mereka peduli dengan masalah politik. Namun, secara global, mereka masih ditolak haknya untuk memengaruhi keputusan yang berdampak pada kehidupan, tubuh, dan masa depan mereka. Seringkali, mereka dianggap ‘terlalu muda’ untuk berkontribusi dan terhambat oleh norma gender dan praktik diskriminasi yang mengakar .
“Meskipun demikian, kami melihat anak dan kaum muda perempuan mendefinisikan ulang apa artinya menjadi politik, bertahan melawan rintangan untuk mengambil bagian dalam proses politik formal dan memperjuangkan beragam gerakan kaum muda, aktivisme akar rumput, dan aksi kolektif,” ungkap Omollo.
Norma-norma gender masih menghambat anak dan kaum muda perempuan untuk terlibat dalam politik, sebagaimana mereka kerap melihat tindakan pelecehan dan kekerasan yang menyasar politisi dan aktivis perempuan. Hambatan ini bersifat struktural dan individual, mulai dari kurangnya akses ke pengambilan keputusan, persepsi kurangnya pengetahuan atau keterampilan, hingga gagasan dari orang lain tentang apa yang pantas untuk anak dan kaum muda perempuan. Mereka sering diremehkan, jarang didengarkan, dan meskipun di beberapa negara keterwakilan perempuan di parlemen dan di dewan lokal telah meningkat, masih ada kekurangan panutan, dan dalam banyak konteks, ada kemunduran yang meluas dari remaja perempuan dan hak-hak perempuan.
Laporan SOTWG 2022 merekomendasikan empat rute untuk memperkuat partisipasi politik anak dan kaum muda perempuan. Pertama, pengambil keputusan di semua tingkat harus melembagakan partisipasi yang bermakna dan aman dari anak dan kaum muda perempuan melalui penerapan kebijakan, strategi, dan kerangka kerja yang sepenuhnya memiliki sumber daya dan akuntabel. Kedua, pemerintah nasional dan lokal harus memastikan akses ke jalur yang beragam dan inklusif menuju partisipasi politik, termasuk sumber daya dan penguatan pendidikan kewarganegaraan dan peluang kepemimpinan dan memfasilitasi inklusi remaja perempuan dalam proses pengambilan keputusan lokal. Ketiga, pemerintah dan perusahaan media sosial harus mengatasi kekerasan yang dialami oleh politisi perempuan dan aktivis perempuan dengan mengadopsi pendekatan tanpa toleransi terhadap kekerasan. Media dapat mendukung dengan mempromosikan citra positif partisipasi perempuan dan memberi perhatian pada kekerasan yang dialami, baik di ruang daring maupun luring.
“Dan, yang tidak ketinggalan adalah PBB, pemerintah, dan masyarakat sipil harus mengakui peran penting anak dan kaum muda perempuan dalam masyarakat sipil, serta menyediakan sumber daya yang dapat diakses sehingga organisasi remaja perempuan tangguh dan berkelanjutan dalam menghadapi krisis dan ancaman eksternal,” tandas Omollo.
——–
Tentang Plan International dan Plan Indonesia
Plan International adalah organisasi pembangunan dan kemanusiaan independen yang bertujuan memajukan hak-hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Kami telah membangun kemitraan kuat untuk anak-anak selama lebih dari 80 tahun dan sekarang aktif di lebih dari 75 negara. Plan International telah bekerja di Indonesia sejak tahun 1969 dan resmi menjadi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) pada tahun 2017, dengan fokus memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan perempuan.
Contact Person:
Muhamad Burhanudin,
Media and Communication Manager Plan Indonesia
Mobile: 085-692-441-525; Email: muhamad.burhanudin@plan-international.org