(Mohammad Hilmi Faiq/Kompas)
Ningsi Selan lahir dari sejarah kekerasan seksual. Dia kini berjuang agar tidak ada lagi kekerasan seksual.
Ningsi Selan (19) tidak ingin sejarah pahit dalam hidupnya dialami juga oleh perempuan lain. Oleh karena itu, didampingi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) dia mengajak teman-teman sebayanya bergerak lewat posyandu remaja untuk berbagi pengetahuan kepada warga agar mencegah pernikahan di usia remaja. Kini, sebagian besar remaja dan orang tua di desa Ningsi mulai paham bahaya jangka panjang pernikahan dini.
Siang itu, rumah Ningsi di Desa Enonapi, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, ramai oleh lima temannya dan beberapa orang tua, Senin (30/5/2022). Lima temannya itu adalah sebagian dari 15 anggota Posyandu Remaja Desa Enonapi. Mereka sedang menunggu tamu dari organisasi nonpemerintah yang akan bertanya tentang perkembangan kegiatan Ningsi. Teman-temannya itu berusia 12 tahun hingga 18 tahun. Ketika Ningsi bercerita, sesekali mereka menambahi atau memberikan testimoni.
Meskipun nada bicaranya rendah, tertangkap jelas pengetahuan Ningsi demikian luas tentang permasalahan kekerasan seksual, kesetaraan jender, bahaya pernikahan dini, dan bahaya bermain media sosial tanpa kontrol. Berbekal pengetahuan itu, Ningsi ingin tidak ada lagi perempuan yang terperosok menjadi korban akibat ketidaktahuan.
Masa lalu
Hingga sekarang, Ningsi tidak mengenal ayahnya. Ketika Ningsi lahir pada November 2003, ibunya, Welmince Taneo, masih berusia 16 tahun dan duduk di bangku kelas III sekolah menengah atas. Pria yang menghamilinya kabur lalu ditangkap polisi karena dilaporkan menghamili anak di bawah umur. Begitu bebas, dia menikah lagi dengan perempuan lain.
Welmince yang masih terlalu belia untuk menjadi seorang ibu akhirnya berhenti sekolah dan berjanji membesarkan anaknya dibantu kedua orangtuanya. Ketika Ningsi cukup umur untuk ditinggal, Welmince meneruskan sekolah hingga tamat SMA. Kini, sebagai perempuan tunggal, Welmince mendidik Ningsi agar menjadi sosok yang berpengetahuan luar biasa dan berpendidikan tinggi.
Welmince yang masih terlalu belia untuk menjadi seorang ibu akhirnya berhenti sekolah dan berjanji membesarkan anaknya dibantu kedua orangtuanya. Ketika Ningsi cukup umur untuk ditinggal, Welmince meneruskan sekolah hingga tamat SMA. Kini, sebagai perempuan tunggal, Welmince mendidik Ningsi agar menjadi sosok yang berpengetahuan luar biasa dan berpendidikan tinggi.
Belakangan, Ningsi paham bahwa peristiwa pahit itu menimpa dia dan ibunya lantaran ketika itu ibunya belum cukup pengetahuan untuk membela diri. Juga belum cukup matang emosinya untuk mengambil sikap terhadap bujuk rayu pria yang akhirnya meninggalkannya. Ini ternyata banyak menimpa anak remaja di desanya dan di desa-desa lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Timor Tengah Selatan menyebutkan, pada Maret 2022, terdapat 61 perempuan hamil di bawah umur, sementara pada 2021 terdapat 81 kasus yang sama. Di Enonapi sudah tak ada lagi kasus anak di bawah umur hamil.
Welmince lalu bekerja menjadi sebagai sukarelawan sekaligus fasilitator Plan Indonesia. Sejak belia, Ningsi ikut Welmince dan lambat laun menyerap pengetahuan yang diberikan ibunya kepada warga. Dia juga ketularan tekad untuk maju. Untuk itulah Ningsi aktif dalam beragam kegiatan pemberdayaan, terutama perlindungan terhadap anak yang diselenggarakan Plan Indonesia. Pengetahuannya tentang kekerasan terhadap perempuan, risiko perkawinan anak, dan perbaikan gizi anak-anak stunting, yang dimiliki Ningsi, melebihi pengetahuan anak-anak di desa itu pada umumnya.
Misalnya, dia paham bahwa munculnya kasus-kasus stunting, yakni anak yang gagal tumbuh akibat akumulasi kekurangan gizi, itu bukan semata-mata karena minimnya sumber daya makanan. Akan tetapi juga karena faktor ketidakmatangan mental akibat menikah di usia terlalu dini; pengetahuan yang rendah tentang pengelolaan sumber makanan; hingga relasi jender yang timpang dengan memprioritaskan laki-laki dan menomorduakan perempuan. Di usia yang amat belia itu, Ningsi sudah memahami kompleksitas permasalahan tersebut.
Kekerasan seksual
Tahun 2016, ketika Ningsi baru saja lulus sekolah dasar, dia mengikuti dan mengawal kasus pemerkosaan terhadap anak berusia 10 tahun oleh pria berusia 40-an tahun. Ningsi, yang saat itu mulai aktif di Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD), melihat dari dekat bagaimana kasus itu bisa terjadi serta dampak yang dialami korban ataupun pelaku. ”Itu bisa terjadi karena warga tidak tahu undang-undang perlindungan anak,” kata Ningsi yang pada saat itu sudah menguat keinginan dalam dirinya agar peristiwa itu jangan terulang lagi.
Dia lalu aktif mengikuti beragam forum yang diadakan di dalam ataupun luar desa, bahkan keluar pulau, tentang pemberdayaan masyarakat, terutama tentang remaja. Oleh karena dianggap lebih paham masalah anak-anak dan remaja, pada tahun 2019 dia diangkat menjadi Ketua KPAD Enonapi, yang surat keputusannya baru dia terima pada pertengahan Mei lalu.
Dua tahun kemudian, tepatnya Agustus 2021, dia menjadi Ketua Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Remaja Desa Enonapi. Pada umumnya, posyandu hanya melayani bayi. Nah, Posyandu Remaja ini melayani para remaja dengan memberikan pencerahan kepada mereka tentang perbaikan gizi dan bahaya pernikahan di bawah umur. Pesertanya adalah remaja usia 12 tahun hingga 18 tahun.
Bagi peserta yang telanjur menikah, Ningsi menekankan pentingnya bersikap asertif serta menjaga pemenuhan gizi bagi anak. Di forum-forum Posyandu Remaja tersebut disisipi pengetahuan tentang gizi dan pengolahan makanan lokal, seperti pisang, ubi, dan kacang hijau, untuk dijadikan sumber makanan bergizi. Ningsi dan kawan-kawannya fasih membuat bubur kacang hijau. Selain mencegah pernikahan anak, forum ini turut memulihkan gizi anak sehingga tak ada lagi stunting di desa ini.
Yang kerap menjadi soal, sungguh tidak mudah bagi remaja seusia Ningsi untuk meyakinkan remaja yang lain agar datang ke forum Posyandu Remaja. Namun, dia merasa perlu mengumpulkan mereka agar mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang dunia remaja beserta risikonya. Beruntung, kepala desa atau bapak desa sejak awal mendukungnya.
”Kami bujuk anaknya dan orangtuanya. Kadang dibantu dengan bapak desa,” kata Ningsi yang berupaya tekun membagi pengetahuan. Sering kali harus menggunakan bahasa setempat.
Selain itu, pihak gereja juga memberikan dukungan penuh dengan mengabarkan kegiatan Posyandu Remaja seusai peribadatan. Pihak gereja juga menyediakan tempat untuk kegiatan tersebut. ”Yang ikut biasanya 50-an anak,” kata Ningsi tentang jumlah peserta Posyandu Remaja tersebut.
Di dalam forum ini, Ningsi dan kawan-kawan aktivis Posyandu Remaja membuka dialog seterbuka mungkin. Masalah-masalah keseharian yang dihadapi remaja dikemukakan lalu dicari solusinya. Memang tidak semua bersedia terbuka sehingga Ningsi juga membuka kesempatan untuk mengobrol secara lebih privat. Baru baru ini dia menerima keluhan tentang sepasang remaja yang baru saja pacaran dan mengunggah foto mereka di Facebook. Kemudian mereka dirundung oleh teman-teman sebayanya.
Kepada temannya itu, Ningsi mengatakan, untuk hati-hati bermain media sosial. Jangan sampai menggunakan nama atau alamat lengkap. Perlu lebih selektif mengunggah konten karena rawan menjadi incaran predator.
Ningsi Selan
Lahir: Timor Tengah Selatan, November 2003
Pendidikan:
– SD Negeri Nono
– SMP Kristen Oinlasi
– SMK Kristen Oinlasi
Kegiatan:
– Ketua KPAD Enonapi (2019-sekarang)
– Ketua Posyandu Remaja Enonapi (2021-sekarang)
Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Sosok, Harian Kompas, tanggal 9 Juni 2022.