
Jika mengingat gempa dahsyat yang mengguncang Nusa Tenggara Barat pada 2018, kita mungkin sulit membayangkan bagaimana anak-anak akan menempuh pendidikan yang bermakna di provinsi tersebut. Apalagi, selang beberapa tahun, datang pula pandemik COVID-19 yang memaksa begitu banyak kegiatan dan proses pembelajaran di sekolah untuk ‘terhenti’.
Namun, harapan itu ada. Harapan ini tidak tumbuh sebagai benih kecil yang cepat layu. Harapan bernama pendidikan yang inklusif, adaptif, dan menyenangkan itu tumbuh dengan kuat, menyeruak di dinding-dinding sekolah di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Selama hampir satu tahun, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) menerapkan program BRIGHT (Bringing Girls to High Potentials through Joyful Learning) di tujuh sekolah terpilih di Lombok Utara. Program ini merupakan tindaklanjut dari SELARAS, respons tanggap darurat COVID-19 Plan Indonesia pada akhir 2020.
Awalnya, temuan dari SELARAS di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Barat cukup memprihatinkan. Dikhawatirkan, angka pernikahan dini, putus sekolah, juga anak-anak yang tidak bisa mengakses pendidikan selama pandemik COVID-19 akan terus meningkat.
Namun, dengan kerja sama yang ulet dan erat bersama berbagai pihak, masalah ini diharapkan dapat diatasi. Plan Indonesia bersama organisasi Plan International di berbagai negara lain dan dinas pendidikan di Nusa Tenggara Barat, berusaha mewujudkan pembelajaran menyenangkan di Lombok Utara.

Melalui program BRIGHT, sekitar 2.900 orang murid kini telah memiliki literasi atau kecapakan digital yang meningkat. Para murid dan guru binaan diajak belajar menggunakan berbagai aplikasi pembelajaran digital dengan benar dan aman, demi mendukung sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang menyenangkan di tengah pandemik COVID-19.
Sebuah SMPN di Kabupaten Lombok Utara menerima manfaat dari program ini. Berdiri di tengah bukit, sekolah ini menyandingkan tragedi dengan harapan. Di sebelah puing-puing bekas sekolah yang luluh-lantak akibat gempa, berdiri beberapa gedung kelas sementara yang hingga kini digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar.
Azizah, salah seorang guru di SMPN tersebut, mengatakan bahwa mereka sudah cukup lama menempuh pendidikan di gedung sementara tersebut. “Awalnya, di sini didirikan tenda. Kemudian, setelah mendapatkan bantuan, kami sekarang belajar di bangunan-bangunan yang dibangun dengan dana bantuan,” ujar Azizah kepada tim Plan Indonesia di Lombok Utara pada Senin (14/12).
Gedung sementara yang terdiri dari beberapa bangunan kecil dengan cat hijau sederhana itu kini masih sepi, lantaran sekolah yang masih mengadopsi sistem tatap muka terbatas. Hanya siswa kelas IX saja yang mulai masuk setiap hari—itu pun dibagi ke dalam dua kelompok untuk menaati protokol kesehatan COVID-19.
“Dulu, kami pernah mengadopsi sistem pembelajaran daring secara penuh. Itu sama saja dengan libur. Karena, saat kita bikin kelas (daring), yang bisa masuk itu cuma beberapa anak,” ungkap Azizah. Menurutnya, akibat kendala itu, pihak sekolah berupaya melakukan berbagai inovasi, termasuk dengan menghadirkan guru ke rumah, ke pelosok-pelosok yang tidak terjangkau internet maupun akses digital lainnya.
Di tengah berbagai upaya tersebut, SMPN tempat Azizah mengajar mulai mendapatkan dukungan dari Plan Indonesia. Melalui program BRIGHT, sebanyak 5 orang guru terpilih dan 10 murid mendapatkan pendampingan selama beberapa bulan. Mereka diajari untuk memakai beragam aplikasi pembelajaran online, mulai dari Google Classroom, Zoom Meeting, Quizzis, hingga Telegram. Selain itu, mereka juga mendapatkan suntikan kuota yang diharap dapat mempermulus jalannya pembelajaran.

“Akhirnya, kami belajar. Ternyata, enak juga belajar secara online. Dalam artian, kalau kami kasih kuis, kami tidak perlu koreksi (satu per satu). Akan langsung keluar hasil dan nilai,” tutur Azizah.
Hal serupa diungkapkan oleh Lidia, murid peserta program BRIGHT. Menurut Lidia, selama mengikuti kegiatan Plan Indonesia, dia tidak hanya belajar menggunakan aplikasi-aplikasi digital, tetapi juga mengenai keamanan digital dan kesetaraan gender. Sekarang, Lidia merasa sudah lebih paham tentang cara mengahdapi perundungan d dunia nyata maupun digital. Murid yang bercita-cita menjadi polisi ini juga mengatakan akan terus menggunakan ilmu yang dipelajarinya melalui pelatihan Plan Indonesia.
“(Mungkin saya akan terus menggunakan) cara menjaga akun sosial media itu. Kalau mau buat akun baru atau ganti ponsel, saya pasti akan ingat cara supaya (akun saya) aman, biar enggak ada yang membajak,” ujar Lidia.
Meski begitu, Lidia mengakui bahwa sebenarnya, dia lebih menyukai pembelajaran dengan metode tatap muka. “Soalnya, bisa bertemu dengan teman-teman. Kalau daring, kan, sendiri-sendiri (belajarnya dari rumah,” kata Lidia.

Fredrika Rambu atau Ika, BRIGHT Project Manager Plan Indonesia, mengakui bahwa perjalanan untuk mewujudkan pembelajaran menyenangkan di Lombok Utara bukanlah hal yang mudah. Berbagai tantangan dihadapinya selama melaksanakan program BRIGHT, termasuk pandemik COVID-19 yang membatasi aktivitas, juga terbatasnya kuota internet bagi anak-anak, keluarga, maupun guru.
Meski begitu, Ika berharap bahwa pembelajaran yang sudah dilakukan oleh BRIGHT bisa dilanjutkan oleh anak-anak dan guru setempat.
“(Saya harap), dinas pendidikan di Kabupaten Lombok Utara ataupun Provinsi Nusa Tenggara Barat bisa membuat kebijakan yang memastikan bahwa guru dan anak bisa melakukan proses pembelajaran dengan baik, secara daring maupun luring,” ungkapnya. Ika juga menegaskan, meski program BRIGHT telah berakhir di bulan Desember 2021, ia mendorong agar dinas pendidikan setempat akan menyediakan fasilitas dan menyusun rencana pembelajaran yang menyenangkan bagi anak-anak. Selain itu, ia juga mendorong agar dinas pendidikan terus memanfaatkan media-media atau aplikasi belajar online secara lebih baik, agar setiap anak di Lombok Utara maupun Nusa Tenggara Barat bisa belajar dengan bahagia dan setara.