Menghunus Perdes, Memutus Rantai Nestapa

Upaya perlindungan anak dan perempuan membutuhkan langkah yang sistematis. Hal ini disadari oleh Petrus Mola (70), Kepala Desa Kelimado, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan dampingan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), Petrus beserta jajaranya menginisiasi dan  memberlakukan Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak dan Perempuan untuk desanya sejak tahun 2019. Kini, desanya pun merasakan manfaat inisiatif tersebut. 

Petrus sejenak tercenung saat mengingat kembali masa-masa sebelum tahun 2019 di desanya. Pada masa itu, tawuran antarpemuda kerap terjadi di desanya, teruma karena efek moke (minuman keras khas NTT). Selain miras, maraknya judi juga menjadi masalah berikutnya. Salah satu akibatnya adalah tingginya kasus kekerasan rumah tangga (KDRT).

“Bapak-bapak main judi. Pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan duit habis. Lalu bertengkar sama istri, terjadi KDRT. Anak-anak pun juga kerap jadi korban dan akhirnya banyak yang putus sekolah,” cerita Petrus.

Tak hanya sampai di situ. Remaja-remaja putus sekolah kemudian banyak yang terlibat perkawinan usia anak. Dengan kestabilan mental dan ekonomi yang masih kurang, kehidupan rumah tangga mereka mudah goyah. Lagi-lagi, KDRT rawan terjadi dan masa depan anak-anak mereka menjadi terancam.

Kondisi tersebut membersitkan keprihatinan Petrus. Dia khawatir, jika nestapa tersebut terus berlanjut, banyak generasi muda Kelimado akan kehilangan masa depan.

Perlu dasar hukum

Dia kemudian bertekad untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah Desa Kelimado tidak bisa lagi sekadar menerima laporan kasus KDRT dan tawuran antarpemuda, untuk kemudian kasus-kasus yang sama terus berulang.

“Saya mulai berpikir untuk mencari akar permasalahannya. Perlu dasar hukum untuk menyelesaikannya. Tanpa dasar hukum, akan dipertanyakan mana legalitasnya. Selain itu, menyelesaikan tawuran dengan lapor ke polisi, misalnya, ternyata itu juga tak menyelesaikan akar masalah. Lagi pula, kantor polisi paling dekat delapan kilometer, susah jaringan pula,” papar Petrus.  

Setelah bertemu dengan Plan Indonesia di Nagekeo, akhirnya Mola pun mendapatkan inspirasi untuk menyusun Perdes Perlindungan Anak dan Perempuan. Mulai tahun 2018, dibantu Plan Indonesia, Desa Kelimado pula mulai menggodok perdes. Lalu diterbitkan sebagai Perdes Nomor 2 pada tahun 2019.

Untuk mengimplementasikan perdes tersebut, Pemerintah Desa Kelimado mengalokasikan anggaran dari dana desa. Anggaran tersebut selain untuk kebutuhan operasional lembaga perlindungan anak dan perempuan yang dibentuk, juga untuk membiayai penguatan kapasitas, serta pemberdayaan masyarakat desa. Pemerintah Desa Kelimado juga membentuk lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PMDP2A). Selain itu, desa ini juga memperkuat fungsi Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) sebagai wadah kaum muda setempat berpartisipasi dalam mencegah kekerasan dan perkawinan anak.

 “Penguatan kapasitas lembaga-lembaga tersebut dibantu oleh Plan Indonesia,” imbuh Petrus.

Dengan adanya perdes, kasus-kasus seperti tawuran dan judi dapat lebih mudah diselesaikan di tingkat desa. Perdes memberikan kekuatan hukum untuk melibatkan aparat keamanan, babinsa, koramil, dan polsek, untuk secara terpadu menyelesaikan masalah tersebut bersama pemerintah desa.

Bersama gereja

Tak hanya di situ, Pemerintah Desa Kelimado pun melibatkan gereja untuk menyosialisasikan perdes, khususnya dalam pencegahan KDRT, miras, judi, dan pencegahan perkawinan anak. Mimbar-mimbar khotbah tak jarang menyisipkan pesan-pesan mengenai pentingnya mencegah masalah-masalah tersebut.

Cara itu ternyata cukup ampuh untuk membangun kesadaran masyarakat. Ketua KPAD Kelimado Claudia (26) mengungkapkan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir, tercatat hanya terjadi satu laporan kasus KDRT di desanya. Kasus tersebut berupa pemukulan dan pengusiran terhadap seorang anak mantu perempuan oleh keluarga suaminya. Akibat pengusiran itu, anak-anak dari korban pengusiran itu menjadi terlantar karena suami korban (ayah dari anak-anak itu) pergi merantau.

“Kami pun menangani kasus ini sesuai perdes yang ada. Kami bersama tim terpadu mempertemukan kedua belah pihak. Dan, pihak pelaku kami minta untuk menandatangani surat pernyataan tak akan mengulangi perbuatannya dan memperlakukan mantu dan anak-anaknya secara baik. Mereka pun berdamai dan kini masalah tersebut sudah terselesaikan,” ujar Claudia.

Untuk kasus-kasus judi, setiap bulan rata-rata ada satu kasus yang dilaporkan, terutama oleh istri. Terhadap laporan seperti ini, pihak pemerintah desa pertama-tama akan memfasilitasi, memediasi, dan meminta agar pelaku tak meneruskan perbuatannya. Adapula yang kemudian yang dilanjutkan ke kepolisian karena pelaku terus mengulangi perbuatannya.

“Tapi, tak jarang ketika sudah dilaporkan ke polisi, istri minta suaminya itu dibebaskan, karena masih sayang. Hal itu tak bisa kami larang. Intinya, bagi kami, ada mekanisme yang membuat warga menjadi jera, malu, dan tobat tak mengulangi perbuatannya,” jelas Petrus.

Meskipun demikian, secara umum, dibandingkan sebelum tahun 2019, kasus judi dan tawuran antarpemuda sudah jauh menurun. Selain karena efek jera dari penerapan perdes yang melibatkan tim terpadu, kondisi tersebut juga mulai terbangunnya kesadaran masyarakat di Kelimado, terutama kaum mudanya, yang kini banyak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan anak dan perempuan yang didanai dengan dana desa.

“Kami juga bersyukur, perkawinan anak juga sudah tidak ada. Hal ini membuat kami generasi tua menjadi lebih optimistis menatap masa depan generasi muda di desa ini,” tandas Petrus.

Penulis: Muhamad Burhanudin, Media and Communication Manager Plan Indonesia