Warnadi mengenal laut sejak usia 10 tahun. Di usia tersebut memang sudah biasa bagi anak-anak yang tinggal di Desa Munjungagung Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal Jawa Tengah, ikut melaut bersama orang tuanya menggunakan perahu kecil ukuran 3 Gross Ton (GT). Warnadi kecil lahir pada 24 Januari 1972 dan tinggal di Desa Munjungagung di tepi pantai Larangan Kabupaten Tegal. Warnadi tidak punya pilihan lain selain menjadi nelayan, ia juga tidak memiliki keahlian lain kecuali mencari ikan. Menjadi nelayan berarti siap untuk hidup penuh kesulitan jauh dari kata mewah, bahkan kurang terjamah dengan program pemerintah dalam melindungi dan mensejahterakan nelayan dan Awak Kapal Perikanan (AKP).

Memasuki usia 17 tahun, tidak lama setelah lulus dari SMA Persamaan ia mulai menjalani profesinya sebagai AKP, menjadi kru kapal ikan berkapasitas 30 GT bahkan lebih. Sekali melaut, Warnadi menghabiskan waktu 2 hingga 3 bulan dengan perbekalan yang sudah disiapkan oleh pemilik kapal dan harus patuh kepada perintah pemimpin kapal atau Nahkoda. Ketika melaut, Warnadi dan rekan sesama AKP tidak hanya dituntut untuk menaklukan ganasnya ombak dan kejamnya musim, ia juga harus pasrah dengan sistem bagi hasil yang buta. Warnadi dan rekannya tidak bisa berbuat banyak ketika pemilik kapal melakukan kecurangan atas bagi hasil tangkapan. Ia berharap pemerintah campur tangan untuk membuat payung hukum bagi hasil antara AKP dengan pemilik kapal.
“Kalau pemerintah mau melindungi dan memakmurkan AKP, pemerintah harus mengeluarkan ketentuan tentang bagi hasil, ketentuan tentang perbekalan, dan mengawasi bagaimana kapal ini hasil tangkapannya tidak dikorupsi oleh pemilik kapal. Artinya, pemilik kapal tidak diberi celah untuk mengkorupsi perbekalan maupun hasil penjualan ikan,” terangnya.
Selain bagi hasil yang buta dan tanpa payung hukum dari pemilik otoritas, Warnadi dan kawan-kawannya pun harus menghadapi masalah lainnya ketika melaut yakni jaminan kesehatan dan keselamatan. Sementara, bekerja di laut tidak mengenal waktu, harus siaga selama 24 jam dengan kondisi kerja yang berbahaya. Sekarang pemilik kapal memiliki inisiatif untuk memberikan santunan kepada awak kapal yang meninggal sebesar Rp 16 juta.

Sementara, sebagai seorang istri AKP Tuti Haryani tidak banyak menuntut selalu menerima besar kecilnya penghasilan yang dibawa pulang oleh suami. Tuti harus pintar-pintar mengatur keuangan agar uang dapur yang diberikan cukup untuk tiga bulan kedepan ketika sang suami kembali lagi ke rumah. Rasa khawatir ketika sang suami melaut yang awalnya terus menggelayut, berangsur menghilang karena sudah terbiasa ditinggal suami melaut. Tuti tidak akan mendapatkan kabar sedikit pun mengenai suaminya ketika melaut, karena tidak ada sarana komunikasi yang dapat menyampaikan kabar. Jika darurat dan sangat penting kabar dari rumah dilayangkan melalui satu-satunya alat komunikasi yang dipegang oleh nahkoda yakni radio (Sejenis HT).
Keterbukaan informasi mengenai regulasi dan hak-hak AKP mulai didapatkan Warnadi dan nelayan lainnya. Setelah SAFE Seas Project memberikan pendampingan dan edukasi. Keberadaan SAFE Seas Project sangat dirasakan ketika rekan AKP Warnadi mengalami kecelakaan di laut, sementara pemilik kapal yang seharusnya bertanggungjawab malah lepas tangan. Berkat pendampingan dari SAFE Seas Project AKP tersebut mendapatkan perhatian dari sang pemilik kapal. Ia mengaku cukup banyak AKP Kabupaten Tegal Jawa Tengah yang mendapatkan pendampingan dari SAFE Seas Project mulai dari informasi Daan edukasi undang undang (UU) yang mengatur keselamatan dan kesehatan kerja (K3) termasuk pentingnya Perjanjian Kerja Laut (PKL), dan indikator pelanggaran tenaga kerja Warnadi mengungkapkan, ketika AKP mengetahui hak dan kewajibannya maka mereka memiliki pegangan atau pedoman dalam memperjuangkannya tanpa menabrak regulasi yang berlaku. Melalui sosialisasi yang digelar secara rutin oleh SAFE Seas Project dengan berbagai isu perlindungan AKP, hal itu lambat laun merubah pola pikir mereka yang semula hanya nerima saja menjadi AKP yang mandiri dan bermartabat.
Sekilas tentang SAFE Seas Project
Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea (SAFE Seas) adalah proyek perlindungan awak kapal perikanan yang dikelola oleh Plan International dan sedang dilaksanakan di Indonesia dan Filipina. SAFE Seas bertujuan untuk memerangi kerja paksa dan perdagangan orang di kapal penangkapan ikan di kedua negara. Di Indonesia, SAFE Seas dilaksanakan oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), bekerja sama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.
Melalui SAFE Seas Project telah didirikan Fishers Center di kota Tegal, Jawa Tengah dan kota Bitung, Sulawesi Utara, sebuah tempat untuk awak kapal perikanan mendapatkan informasi, edukasi dan rujukan perlindungan awak kapal perikanan.
Pendanaan untuk proyek ini disediakan oleh Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat (USDOL) berdasarkan perjanjian kerja sama IL-31472-18-75-K. Seratus persen dari total biaya proyek dibiayai dengan dana federal, dengan total lima juta dolar.Materi ini tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan USDOL, juga tidak menyebutkan nama dagang, produk komersial, atau organisasi yang menyiratkan dukungan oleh Pemerintah Amerika Serikat.