“Bekerja sebagai teknisi perecanaan pembangunan ruang kelas sementara dalam respons gempa bumi Lombok Yayasan Plan International Indonesia seperti dream comes true bagi saya. Lelah dan dinamika pekerjaan atau masalah tidak lagi terasa selama saya mengerjakan 6 titik ruang kelas sementara di wilayah Lombok Barat dan Utara. Mengerjakan proyek ini membawa kebahagiaan tersendiri untuk saya. Karena pada akhirnya, anak-anak bisa bangkit, ceria dan mendapatkan haknya” Ujar Ririn Irlyana, Teknisi Perencanaan Pembangunan Ruang Kelas Sementara, Emergency Response Team Yayasan Plan International Indonesia.
Ririn mengenal Plan Indonesia melalui selebaran dan sosial media, akhirnya terlintas dalam pikiran Ririn untuk turut berkarya di yayasan yang bergerak pada pemenuhan hak anak dan kaum muda perempuan.
Ririn Irlyana lahir dan berkuliah di Lombok, mengenyam pendidikan di Universitas Mataram jurusan Teknik Sipil. Walaupun pada masa itu terdengar stereotipe bahwa jurusan teknik dan pekerja teknik adalah pekerjaan yang diperuntukkan untuk laki-laki, hal tersebut tidak mematahkan tekad Ririn bahwa ia akan menjadi teknisi perencanaan pembangunan. Menurutnya “tidak ada istilah bahwa ada beberapa hal atau pekerjaan yang “hanya” bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Karena perempuan juga pasti bisa”
Saat Ririn bekerja di Plan Indonesia, Ririn adalah teknisi perempuan satu-satunya di Klaster Pendidikan, Education in Engineering. Hal ini tidak membuatnya tertegun, bahkan menjadi kekuatan bagi dirinya dan kelompok klaster bahwa ada suara perempuan yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan rencana pemberian bantuan. Dalam proses perencanaan dan implementasi pembangunan, penting untuk melibatkan perempuan, karena perempuan mempunyai kebutuhan spesifik yang berbeda, misalnya dalam pembangunan fasilitas toilet di ruang kelas sementara yang ramah anak perempuan. Totalitas Ririn dalam bekerja ditunjukkan dari keterlibatan aktifnya bukan hanya dari fase perencanaan. Mulai dari ikut mengukur, naik ke atap bangunan, ia lakukan untuk memastikan bahwa bangunan sesuai dengan standar yang ditentukan. Ririn menyampaikan, ada beberapa hal teknis yang perlu dipastikan dalam membangun sebuah bangunan di wilayah yang rawan bencana, seperti memperdalam dan melebarkan dimensi pondasi, memilih bahan yang lebih ringan (gunakan kayu dan materi sintetis dibandingkan menggunakan bata, dan juga gunakan atap berbahan sintesiscalciboard selain menggunakan atap tanah liat). Bantalan atau “batu kosong” dalam bangunan juga perlu diperhatikan, sehingga jika terjadi guncangan, bagunan bisa tetap terjaga.
“Dalam kerja, kami juga tidak mau membuat anak sebagai penerima bantuan yang pasif, saya melibatkan anak dalam pengambilan keputusan saat proses perencanaan pembangunan. Itulah mengapa bangunan ruang kelas sementara yang dibangun Plan Indonesia berwarna dominan putih dan merah muda. Menurut masukan anak-anak, warna itulah yang memberikan mereka semangat dan menggambarkan keceriaan” Ujarnya dalam salah satu sesi diskusi di sela-sela kesibukannya. Ririn sadar betul bahwa anak perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Masyarakat lokalpun turun ia libatkan sebagai pekerja bangunan, sehingga bisa timbul rasa saling membangun dan merawat untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Bencana gempa bumi yang terjadi memang membawa dampak psikososial yang mendalam bagi anak-anak. Namun, anak-anak harus segera mendapatkan haknya dan bangkit. Proyek yang dilakukan oleh Plan Indonesia membantu masyarakat, terutama anak-anak untuk memulihkan kondisi psikososialnya. Selain bantuan yang diberikan secara fisik, bangunan ruang kelas sementara di 6 titik ini menjadi gambaran untuk membangun harapan dan semangat baru bagi 2.400 anak-anak penerima manfaat ruang kelas sementara, bahwa mereka adalah anak-anak yang tangguh walau pernah dilanda cobaan yang tidak terlupakan. Namun anak-anak Lombok berjiwa kuat.