Satuan pendidikan pada hakikatnya adalah tempat anak memperoleh pendidikan yang aman dan nyaman. Namun, berbagai masalah masih kerapa terjadi di banyak sekolah hingga saat ini. Contohnya, perundungan, kekerasan, perkawinan anak, kehamilan remaja, dan segala bentuk pelanggaran hak anak lainnya yang dialami oleh pelajar dan bisa dilakukan oleh siapa saja di lingkungan sekolah dan sekitarnya.
Salah satu yang begitu marak diperbincangkan adalah perkawinan anak, yang terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pada tahun 2019, tercatat sebanyak 370 kasus perkawinan anak terjadi. Hal ini diperparah oleh situasi pandemi hingga pada tahun 2021 terdapat 1.132 kasus.
Mengutip INews.id, sebanyak 800 orang siswa di NTB menikah di usia anak. Data tersebut terpantau pada tahun 2020 oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB. “Totalnya ada 800 orang siswa kita yang menikah. Itu yang sudah melapor secara resmi, di luar itu kita tidak tahu,” kata Kepala Dikbud NTB Aidy Furqan, Rabu (5/5/2021). Dia menyebutkan, 800 orang siswa yang menikah di usia anak ini didominasi oleh siswa perempuan, sedangkan siswa laki-laki lebih sedikit. “Jadi mereka ini tersebar di sejumlah sekolah di NTB dan paling dominan itu siswa perempuan,” ujarnya.
Data dari Kabupaten Sukabumi juga menunjukan tingginya angka kekerasan terhadap anak. Dari data yang disampaikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sukabumi, pada tahun 2019 terdapat 90 kasus dan meningkat di tahun 2020 menjadi 93 kasus, dan terus meningkat hingga 2021 menjadi sebanyak 139 kasus. Selain itu, lebih spesifik diungkap data perkawinan anak oleh DP3A Kabupaten Sukabumi, pada tahun 2021 terdapat permintaan surat keterangan pengantar nikah ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sebanyak 134 orang, dan jumlah perkawinan anak yang tercatat oleh Kementerian Agama sebanyak 374 orang.
Hal tersebut menunjukan adanya fenomena gunung es dalam problematika di satuan pendidikan yang perlu diselesaikan, terutama perkawinan anak yang dapat mengakibatkan anak putus sekolah. Data yang ada bisa jadi masih bagian kecil dari realitas jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan data perkawinan anak tersebut menunjukan fakta bahwa lebih banyak anak perempuan selalu menjadi korban dari permasalahan yang timbul.
Sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan hak anak, terutama anak perempuan, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) melalui Program Gema Cita (Generasi emas bangsa bebas perkawinan anak) turut mendampingi Kabupaten Lombok Barat di Provinsi NTB dan Kabupaten Sukabumi di Provinsi Jawa Barat untuk berupaya menurunkan, mencegah, dan menghapuskan angka perkawinan anak dan kehamilan remaja.
Salah satu hal yang sudah dilakukan oleh Gema Cita dalam mendukung terciptanya lingkungan sekolah yang aman dan nyaman dengan mendorong Sekolah Ramah Anak (SRA) melalui pelaksanaan pelatihan SRA di 5 sekolah Kabupaten dampingan, yaitu Kab. Lombok Barat yaitu SMAN 1 Lembar, MTS Nujumul Huda, SMKN 1 Kuripan, SMPN 2 Kuripan dan MTSN 1 Lombok Barat sedangkan Kab. Sukabumi yaitu SMAN 1 Sukaraja, SMPN 1 Sukaraja, MTS Yasni, SMAN 1 Warungkiara dan SMPN 1 Warungkiara. Pelatihan SRA tersebut melibatkan unsur siswa, tenaga pendidik dan kependidikan (Guru & Kepala Sekolah) serta orang tua/komite sekolah.
Pelatihan Sekolah Ramah Anak untuk Tenaga Pendidik
Melalui Program Gema Cita, Pelatihan SRA memberikan peningkatan kapasitas kepada peserta melalui diskusi tentang perlindungan anak, kesetaraan gender, fasilitator pelindung anak dan komponen SRA. Komponen Sekolah Ramah Anak yang dibahas adalah bagian utama 6 komponennya yaitu Kebijakan Ramah Anak, Pendidik dan Tenaga Kependidikan terlatih Konvensi Hak Anak (KHA), Sekolah Ramah Anak (SRA) dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), Pembelajaran Ramah Anak, Sarana Prasarana Ramah Anak, Partisipasi Anak serta Partisipasi Orang tua, Alumni, Lembaga Kemasyarakatan, Dunia Usaha dan Media.
Semua pihak sepakat bahwa yang menjadi penting adalah nilai-nilai terkait dengan Sekolah Ramah Anak yang perlu dan mendasar ditanamkan kepada seluruh warga sekolah yang didukung juga oleh Pemerintah. Tim Gema Cita menekankan bahwa program ini merupakan program pemerintah yang memang perlu dilakukan oleh semua pihak terutama lembaga pendidikan dan pemerintah. Hadirnya Plan Indonesia hanya sebagai pendukung dan katalisator mewujudkan sekolah ramah anak.
Komitmen Lombok Barat
Kegiatan pelatihan SRA di Lombok Barat pada tanggal 20-21 September 2022 dibuka oleh Ibu Eva selaku Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Khusus Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB. Ibu Eva dalam sambutannya mengungkapkan “Tahun 2024 Sekolah di NTB secara keseluruhan harus sudah menjadi Sekolah Ramah Anak sebagai komitmen kita semua dalam memberikan ruang aman dan nyaman bagi anak. Plan Indonesia terus melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan melalui Program Gema Cita tahun ini. Melalui program ini, Plan Indonesia dan Dikbud berkolaborasi untuk menciptakan suasana belajar yang ramah anak dan SRA penting untuk disosialisasikan agar program ini dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah. Program ini diharapkan dapat memberikan pemenuhan hak anak untuk berkembang dan berpartisipasi dapat terjamin. Keterlibatan orang tua dalam pelaksanaan program ini juga sangat berpengaruh.”
Hal tersebut juga diperkuat sebagaimana sambutan Bapak Mustiklar selaku Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP2KBP3A Lombok Barat yang mengungkapkan program sekolah ramah anak ini mendukung visi dan misi Kabubapaten Lombok Barat memunculkan masyarakat ramah anak, sejahtera, dan berprestasi. Inilah upaya untuk bagaimana cara menciptakan sumber daya manusia yang sehat, sejahtera, berprestasi dan kuat bersaing. Indikatornya adalah mampu meningkatkan harapan umur hidup masyarakat Kabupaten Lombok Barat 60,6%.
“Rata-rata warga di Lombok Barat masih banyak yang putus sekolah. Salah satu penyebabnya adalah pernikahan usia anak. Gerakan Anti-Merarik Kodek sudah menjadi komitmen Pemerintah Kabupaten Lombok Barat melalui Perbup yang ada. Terkait dengan SRA presentasinya masih sangat jauh dibandingkan dengan satuan pendidikan di Lombok Barat, sekolah SRA baru ada 56 dari 600-an sekolah,” ungkap Mustiklar.
Apresiasi Kabupaten Sukabumi
Selain Lombok Barat, sebagai salah satu wilayah intervensi Gema Cita, Program Pelatihan SRA dilaksanakan juga di Kabupaten Sukabumi pada 21-22 September 2022. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sukabumi Eki. Dalam sambutannya, Eki menuturkan pentingnya mendorong terwujudnya sekolah ramah anak sebagai sarana utama perlindungan di tingkat yang paling dasar selain keluarga dan masyarakat. Ia juga mengungkapkan rasa syukurnya terhadap Plan Indonesia yang telah bersedia melakukan pendampingan terhadap dua desa dan 5 sekolah di Kabupaten Sukabumi.
Salah satu peserta Master Trainer yang mewakili SMAN 1 Warungkiara bernama Yulianingsih juga mengungkapkan antusiasmenya. Ia merasa hal ini sangat penting dipahami oleh guru-guru termasuk dirinya. Sebab, ia memiliki pengalaman yang cukup pilu saat muridnya harus putus sekolah akibat mengalami hamil di luar menikah. Oleh karena itu, para guru sangat perlu untuk mendapatkan pelatihan program seperti ini. Tujuan dari program ini bukan sekadar menjadikan sekolah ramah bagi anak, tapi juga agar guru-guru menjadi orang pertama yang melindungi dan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anak.
“Saya tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Di mana, murid saya harus berhenti padahal sudah kelas 12 karena hamil di luar perkawinan resmi, sebab ia tidak mau bercerita kepada saya. Mungkin karena ia takut, atau saya dianggap bukan orang yang nyaman untuk dirinya” ujar Yuli.
Hasil Kegiatan Pelatihan SRA
Salah satu hasil dari kegiatan Pelatihan SRA ini adalah adanya Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang dilakukan oleh masing-masing sekolah dan Instansi Pemerintah yang hadir dalam berupaya mewujudkan Sekolah Ramah Anak di masing-masing sekolah dampingan. Rencana Tindak Lanjut ini dibuat secara berkelompok dengan memetakan apa yang bisa dilakukan dengan mendorong kolaborasi bersama melalui penggunaan dana BOS dan atau DAK di sekolah serta dukungan dari instansi pemerintah.
Salah satu dari sekian banyak RTL yang dibuat oleh sekolah adalah pembentukan Tim SRA yang diupayakan menjadi penggerak terwujudnya Sekolah Ramah Anak yang terdiri dari unsur tenaga pendidik dan kependidikan, orang tua, dan anak. Usai pelatihan SRA ini selanjutnya akan dilaksanakan lokakarya pembentukan tim SRA dan lokakarya lain yang terkait, guna memperdalam komponen dan kapasitas nilai yang harus ada di dalam Sekolah Ramah Anak.
Di akhir kegiatan ini, Marzalena Zaini sebagai Gema Cita Project Manager, menyampaikan, “bicara soal ramah anak ini konteksnya sangat luas, mulai dari sekolah bersih baik lingkungan sekolah termasuk juga kantin maupun makanan yang disedikan – bergizi dan sehat, sekolah yang memberikan ruang, kesempatan bagi anak berekspresi, bebas dari kekerasan, pelecehan, kehamilan, perkawinan anak, hingga kepada sekolah yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.”
Sekolah yang ramah bagi anak, lanjut Marzalena, akan terwujud jika semua warga sekolah berani bersikap dan berperilaku positif dan sehat, mengayomi dan mengajak anak ikut berpartisipasi.
“Dukungan dan kepedulian dari pemerintah setempat dalam pelaksanaan sekolah yang ramah bagi anak juga menjadi faktor penting terwujudnya SRA ini,” tegas Marzalena.
Penulis: Mohamad Wildane Ganevo
Editor: Annisa A. Hanifa