“Aku nggak bisa diam saja kalau ada perempuan yang dikekang, dilecehkan, dan dinomor duakan. Aku nggak bisa” Maya (19 tahun), sudah menjadi aktifis kesetaraan gender dan penggerak komunitas hak anak dari usia belia. Saat ini, Maya terpilih sebagai 1 dari 10 Global Youth Influencer (https://plan-international.org/girls-get-equal/meet-campaigners-behind-girls-get-equal) yang digagas oleh Plan International dan ikut menciptakan kampanye global Plan International, Girls Get Equal.
Di dunia di mana diskriminasi terhadap hak-hak perempuan masih terjadi, kampanye Girls Get Equal menuntut kesetaraan kebebasan, representasi, dan kekuatan bagi anak dan perempuan muda.
“dari masih kecil, aku sering lihat perlakuan yang membuat perempuan seakan-akan ada di kelas kedua, pasif, dan nggak berdaya. Padahal aku tahu perempuan itu hebat, tapi suaranya jarang didengar. Menurutku ini karena budaya yang mengajarkan ‘perempuan yang baik itu yang nurut, yang pendiam’. Itu sama sekali nggak benar! masa kalau perempuan dilecehkan atau disakiti harus diam saja?”
Perempuan punya hak yang sama untuk bersuara, didengarkan, bahagia, dan membuat keputusannya sendiri.” Ucap Maya saat bercerita apa yang mendasari aktivismenya membela hak perempuan dan jadi bagian dari kampanye Girls Get Equal.
Di sela-sela libur kuliah, Maya memiih untuk tetap aktif mengerjakan inisiatif kegiatan dan kampanyenya. Kali ini, Maya berangkat ke Malawi, Afrika Selatan, untuk bertemu dengan 9 orang muda lainnya untuk mendesain Girls Get Equal Campaign Toolkit – Panduan kampanye kesetaraan gender yang disiapkan dan di desain oleh 10 orang muda dampingan Plan International yang berasal dari Malawi, Kenya, dan Maya dari Indonesia.
4 hari mereka berkumpul dan bekerja sama untuk membuat campaign toolkit yang bisa dimanfaatkan dan diadopsi oleh lebih banyak remaja dan kaum muda di luar sana. Diskusinya sangat kaya, mereka ingin memastikan bahwa toolkit ini bisa diakses oleh semua orang, sehingga mereka bisa belajar memahami bagaimana menentukan misi dan obyektif kampanye, menentukan target audiens, memetakan mitra kerja sama, dan membuat pesan yang sesuai dengan tujuan kampanye – Equal power, freedom and representation.
Di salah satu sesi, Maya menyampaikan kepada fasilitator untuk memerhatikan metode dan bahasa yang digunakan dalam materi petunjuk toolkitnya. Tujuannya agar toolkit ini mudah dipahami, punya materi yang kaya, dan juga inklusif, bisa digunakan oleh perempuan, laki-laki dan juga mendorong teman-teman dengan disabilitas juga untuk terlibat aktif menyuarakan pendapatnya. Bersama Rose dan Funny, mereka menggambar analogi pohon dengan spidol warna warni, serta dengan semangat menjelaskan, “buah bisa dianalogikan sebagai campaign demand, akar sebagai objektif, ranting sebagai target audiens, sedangkan air dan pupuk sebagai mitra kerja sama” ujarnya di dalam forum diskusi “aku rasa dengan analogi ini, kaum muda bisa lebih memahami kenapa satu dan lain hal perlu diidentifikasi dan diperhatikan dengan matang. Supaya kita semua bisa memetik buahnya, yaitu kesetaraan”.
Bukan hanya dari struktur formulasi pesan-pesan kampanye, mereka juga diskusi lebih dalam tentang desain dan warna, serta tips menjaga kesehatan diri (fisik dan emosional) saat menjadi aktifis. Dengan berbagai pegalaman dan latar belakang, mereka berbagi segala macam pengalaman dan tantangan saat mereka menjadi aktivis, tentang apa saja tantangan saat mereka melakukan kampanye. Kesepuluh anak muda ini memberikan masukan-masukan yang bisa diterapkan atau yang perlu diperhatikan oleh aktivis muda lainnya yang akan mengakses toolkit ini sebagai materi kampanyenya
Di 26 jam perjalanan pulang Malawi – Jakarta, Maya menyampaikan,
“Aku nggak sabar menyelesaikan campaign toolkit yang sedang tahap finalisasi. Aku dan teman-teman nggak sabar untuk membagikan toolkit ini ke kelompok-kelompok muda yang punya semangat yang sama, karena setiap perempuan muda dan anak perempuan memiliki hak untuk bebas menyampaikan pendapatnya dimanapun, dan kapanpun dan toolkit ini sangat suitable. Apakah kamu salah satunya? Tunggu tanggal launchingnya, ya!”