JAKARTA, 19 Agustus 2020 – Dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-75, Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children (IJF to EVAC) bersama dengan KPAI mendorong adanya upaya lebih dari pemerintah pusat dan daerah untuk mendengarkan dan menempatkan suara anak dalam setiap kebijakan, demi mewujudkan kepentingan terbaik bagi setiap anak Indonesia.
Pandemik COVID-19 dan upaya untuk menanggulanginya tentu berpengaruh kepada kesehatan, kesejahteraan, dan masa depan masyarakat Indonesia, terutama anak-anak. IJF to EVAC memandang penting adanya sebuah risalah kebijakan yang didasarkan pada suara anak untuk menambah data dan informasi dalam kerangka penerapan kebijakan penanggulangan pandemik COVID-19.
Berangkat dari hal tersebut, 36 anak Child Led Advocacy and Campaign CLC dampingan IJF berusaha mengisi kemerdekaan dengan cara bersuara memberikan rekomendasi terhadap pemerintah dalam penganggulangan dampak COVID-19.
Sesuai dengan mandat undang-undang Dasar 1945, serta Undang-Undang Perlindungan Anak No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sangat penting bahwa Pemerintah merancang tanggap darurat COVID-19 untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, termasuk pemenuhan kesehatan fisik dan mental, gizi, pendidikan, kesejahteraan dan pengasuhan, serta hak mereka untuk mendapatkan informasi.
Gregorious Hadiyanto Nitihardjo, Direktur Nasional SOS Children’s Village dan Komite Eksekutif IJF menyatakan ajakan kerjasama para pihak dalam pengantarnya di acara semidaring pada Minggu (16/8).
“Dalam kerangka peringatan 75 tahun kemerdekaan ini, kita hendak mengajak semua pihak untuk bisa terus menerapkan langkah-langkah yang melibatkan anak dalam pembuatan kebijakan mulai dari tingkat yang paling kecil hingga tingkat pemerintahan yang paling tinggi”.
Saat ini, kebijakan penanggulangan pandemik COVID-19 masih sangat jarang melibatkan anak, sehingga membuat tingkat kerentanan anak semakin tinggi. Sebagai contoh, kebijakan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) maupun Belajar dari Rumah (BDR) yang dirasakan oleh anak, seperti disampaikan dalam risalah kebijakan, bahwa dukungan guru dalam proses belajar sangatlah minim. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada capaian tujuan pendidikan dan peningkatan potensi peserta didik yaitu anak-anak.
Kebijakan terbaru pemerintah di bidang pendidikan terutama dalam masa kebiasaan baru saat ini, dengan membuka sebagian sekolah yang berada di zona kuning, bukanlah jalan keluar untuk pemenuhan tujuan pendidikan. Hal tersebut justru kemudian menempatkan anak-anak pada posisi rentan dengan risiko masih tingginya kasus penularan COVID-19.
Jasra Putra, Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, pada rilis policy brief ini menyatakan “Dimana kasus COVID-19 berada? Di dalam diri kita. Zona hijau belum tentu tidak ada kasus. Maka harus dipastikan kesiapan daya dukung tatap muka terutama di zona kuning. Jangan sampai anak menjadi korban. Maka protokol kesehatan adalah salah satu upaya untuk memutus penyebaran virus.” ungkap Jasra.
Jasra juga menunjukkan bahwa data pemerintah (covid.go.id) per Agustus 2020 adanya peningkatan data anak yang meninggal, 59 anak untuk usia di bawah 5 tahun dan 71 anak untuk usia 6-17 tahun.
Ke depannya, pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam kerangka penerapan kebiasaaan baru di tingkat kab/kota dan provinsi dan satuan terkecil lainnya seperti desa/kelurahan ataupun satuan pendidikan telah mengikuti prinsip-prinsip perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak, terutama anak perempuan.
Anak-anak yang tergabung dalam wadah Child Led Advocacy and Campaign (CLC) dengan dukungan dari anggota IJF, juga sangat memperhatikan isu kekerasan terhadap anak, terutama pekerja anak dan perkawinan anak. Mereka juga sangat mengkhawatirkan masalah ekonomi yang dialami keluarga, di mana orangtua/pengasuh kehilangan pekerjaan atau pendapatan. Ada isu yang menarik dan tertangkap oleh mereka, yaitu keterkaitan antara kebutuhan akses internet dengan fenomena pekerja anak. Dalam salah satu cerita terlihat bahwa ada orang tua yang tidak mau memberikan kuota internet kepada anak, dan malah menyuruh anak “mencari sendiri” sehingga anak harus bekerja. Artinya, hal ini dapat menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap fenomena pekerja anak.
Sebagai rekomendasi, 36 anak yang tergabung dalam CLC, berdasarkan penelitian yang mereka telah lakukan dan dituangkan dalam risalah kebijakan ini, meminta agar pemerintah memastikan: terciptanya lingkungan keluarga yang nyaman bagi anak; hak pendidikan anak tetap terpenuhi; hak kesehatan fisik dan mental anak tetap terpenuhi; adanya program perlindungan sosial bagi orang tua yang kehilangan pendapatan/pekerjaan; dan sistem perlindungan dari kekerasan tetap berjalan efektif selama pandemi dan masa kebiasaan baru COVID-19 ini.
Oleh karena itu, alangkah bijak dan elok, jika dalam perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 75, Pemerintah bersedia mendengarkan dan menempatkan suara anak dalam setiap kebijakan yang dibuat, demi mewujudkan kepentingan terbaik bagi setiap anak Indonesia. (***)