
Menjadi awak kapal perikanan (AKP) migran masih menjadi pilihan favorit bagi para AKP domestik. Banyak hal manis yang mereka dapat sesap dari pilihan tersebut. Namun, kehati-hatian tetap diperlukan agar tak terjebak rantai eksploitasi.
“Iya saya pilih jadi AKP migran, sekarang masih menunggu panggilan, berkas sudah siap semua kemarin ngurus selama dua bulan, tinggal berangkat,” ujar nelayan Tegal, Hery Hermanto (31) kepada Tribunjateng.com, Rabu (7/9/2022).
Ia menjelaskan, kini sudah mendaftarkan diri ke kapal berbendera Taiwan. Selambatnya satu bulan lagi hendak berangkat bersama seorang kawan tetangga kampungnya.
“Perusahan penyalurnya (manning agency) resmi, sudah ada teman yang pernah berangkat jadi berani ikut,” terangnya.
Ia berharap, berpindahnya kapal dari domestik ke migran dapat berubah upahnya menjadi lebih baik.
Diakuinya, pihak kapal menjanjikan gaji Rp12 juta perbulan. Jumlah itu berbeda jauh dengan upah sebagai nelayan domestik di angka Rp4 juta sampai Rp6 juta selama dua bulan melaut.
“Ikut kapal Taiwan dulu, nanti kalau cocok mau coba ke kapal Eropa atau Jepang,” bebernya.
Hal serupa juga diungkapkan Untung Santoso (44) warga Desa Karibaya, Kramat, Kabupaten Tegal yang telah lama malang melintang di dunia kapal perikanan asing. Bidang tersebut digelutinya sejak tahun 2004 selepas hampir lima tahun menjadi nelayan lokal.
Ia kini mampu memiliki usaha lain hasil dari bekerja di kapal, yakni usaha rias pengantin, dekorasi dan laundry yang dijalankan istrinya di rumah mereka di pinggir jalan pantura Tegal.
“Iya, alhamdulillah pokoknya, namanya manusia berusaha,” jelasnya.
Ia sekarang di kapal asing berposisi sebagai petugas pemroses ikan. Di posisi itu, gaji pokok plus tunjangan diterimanya total rata-rata Rp15 juta per bulan. “Kontrak ya setahun, bisa juga delapan bulan,” terangnya.
Ia berpesan, kepada siapapun hendak berangkat menjadi AKP migran harus memastikan kantor perusahaan keagenan awak kapal (manning agency) dengan pasti. Perusahaan harus dipastikan terdaftar sekaligus termasuk Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) resmi.
Selain itu, mengikuti jejak orang yang sudah sukses di bidang tersebut juga penting daripada memilih
perusahaan penyalur baru yang belum tentu terjamin. “Intinya perusahaan penyalurnya. Kalau salah perusahaan kasihan nanti terlantar atau gaji tak dibayar,” tuturnya.
Sementara itu, SAFE Seas Project Manager, Hari Sadewo mengatakan, menjadi ABK Migran memang semakin diminati oleh ABK domestik karena gaji lebih besar dan rutin perbulan terutama di kapal Eropa dan Jepang.
“Jaminan dan kepastian gaji lebih baik. Berbeda dengan upah di kapal dalam negeri yang memakai sistem bagi hasil,” jelasnya.
Kendati lebih menggiurkan bekerja sebagai ABK migran akan lebih berisiko baik dari pra pemberangkatan, pemberangkatan hingga pulang dari kapal.
“Ada rantai eksploitasi di situ yang rentan dimainkan untuk diambil keuntungannya sebesar-besarnya,” paparnya.
Pihaknya berharap, selepas keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlidungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran lembaga terkait bakal lebih ketat dalam pengawasan terhadap perusahaan manning agency atau agen penempatan tenaga kerja perikanan.
Sebelum PP tersebut keluar, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang bertugas melindungi buruh migran tidak memiliki otoritas membina para perusahaan maning agency.
“Namun butuh waktu implementasinya sekira satu sampai dua tahun yang mana ada pembinaan, pengawasan, dan tata kelola terhadap ABK Migran,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh Iwan Arifianto (Jurnalis Tribun Jateng) pernah dimuat di Tribunnews.com edisi 7 September 2022