Gender adalah satu kata yang sering kita dengar dalam bahasa sehari-hari. Namun, apakah ada yang memahami bahwa konsep gender itu berbeda dengan jenis kelamin? Ya, keduanya memang berbeda.
Masyarakat seringkali mencampur-adukan kedua kata ini. Padahal, jenis kelamin merupakan karakteristik biologis untuk membedakan jenis kelamin perempuan dan jenis kelamin laki-laki. Sedangkan gender adalah karakteristik sosial untuk membedakan perempuan dan laki-laki dan juga untuk membedakan peran, status, relasi antara keduanya.
Masih Adanya Ketidaksetaraan Gender
Meskipun terdapat upaya yang terus-menerus untuk mendorong kesetaraan gender, sayangnya, perempuan belum sepenuhnya menikmati kesetaraan hak hukum, sosial, dan ekonomi. Dalam konteks budaya Manggarai, perempuan sering dinomorduakan yang tercipta karena konstruksi sosial budaya.
Kebiasaan ini diwariskan secara turun temurun dan seolah-olah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dalam hal pengambilan keputusan, laki-laki dianggap lebih dominan soal kewenangan di mana istilah dalam konteks budaya Manggarai ‘Ata Pe’ang dan Ata One’ masih melekat.
Ketidaksetaraan gender dalam kehidupan sosial bermasyarakat juga sering terjadi. Perempuan selalu dianggap feminin dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun, pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Sebagai contoh, kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya di dalam rumah tangga, yaitu pemukulan, penyiksaan dan pemerkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan, pelecehan seksual, eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
Ketidaksetaraan gender adalah isu serius. Pandangan yang menganggap bahwa perempuan merupakan subkordinasi laki-laki hingga pada pembagian peran sebagai laki-laki dan perempuan perlu diubah, yang mana konsep mewujudkan kesetaraan gender perlu dilakukan bersama-sama.
Perjuangan Wujudkan Kesetaraan Gender
Perjuangan mewujudkan untuk kesetaraan gender membutuhkan peran sentral kaum laki-laki. Mengapa demikian? Peran ini bertujuan mengingatkan laki-laki bahwa martabat, harga diri, dan kewibawaan tidak terpaut pada jenis kelamin. Sebaliknya, jenis kelamin hanyalah penjelasan atas keunikan yang dimiliki setiap individu, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Hal ini sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, yang mana dalam ajaran sosial gereja salah satu prinsip pertama adalah penghormatan terhadap martabat manusia. Ketika budaya menempatkan posisi perempuan sebagai kelas dua dari laki-laki, itu bagian dari penodaan terhadap kewajiban kita menghormati martabat manusia.
Sebab, martabat manusia tidak menentukan jenis kelamin, tetapi keduanya memiliki harkat dan martabat yang sama. Dalam konteks ini, Gereja selalu berkampanye memberikan edukasi kepada umat katolik khususnya di Kabupaten Manggarai untuk menempatkan posisi yang sejajar antara laki-laki dan perempuan, untuk saling menghormati harkat dan martabat manusia.
Adapun pendekatan yang bisa dilakukan adalah mengubah cara berpikir bahwa perempuan memiliki posisi yang sejajar. Karena ketika laki-laki mengambil peran perempuan, tidak berarti harga diri sebagai kaum laki-laki jatuh dan begitu pun sebaliknya.
Kisah Perjuangan RM. Marten Jenarut
Rm. Marten Jenarut sebagai salah satu tokoh agama di Kabupaten Manggarai menyebut perjuangan kesetaraan gender tidak hanya meletakkan peran yang sama antara perempuan dan laki-laki. Perjuangan kesetaraan gender juga harus sampai pada titik jaminan perlindungan terhadap perempuan.
Perjuangan untuk mengubah cara pandang akibat konstruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan sebagai subkordinasi dari kaum laki-laki harus dibuktikan dengan aksi nyata dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Salah satunya kerja nyata adalah Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) yang sejak tahun 2018 berada di Manggarai, perjuangan kesetaraan gender menjadi bagian dari program penting Plan Indonesia.
Menurutnya, kinerja Plan Indonesia sangat efisien dan efektif untuk mencapai perubahan yang dicita-citakan khususnya di bidang kesetaraan gender. Dalam beberapa kegiatan, ungkap Rm. Marten, Plan Indonesia selalu melibatkan tokoh kunci dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender. Sebagai contoh, sosialisasi tentang perlindungan anak dan perempuan yang mana pemerintah, tokoh pendidikan, adat, agama, hingga tokoh masyarakat turut diundang sehingga diharapkan mampu meningkatkan pemahaman masyarakat nantinya.
Secara strategis, menghadirkan laki-laki dalam kegiatan ini sangat tepat dengan tujuan memberi pemahaman, bahwa laki-laki memiliki peran untuk menaruh rasa hormat terhadap harkat dan martabat perempuan. “Plan Indonesia sudah menciptakan suatu strategi program di mana dia menggunakan kelompok-kelompok strategis yang mayoritasnya kaum laki-laki untuk berbicara tentang gerakan untuk memberi penghormatan terhadap perempuan, karena mereka juga bermartabat,” akunya.