Aku adalah seorang anak berusia tujuh belas tahun dan tinggal di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Teman-temanku akrab memanggilku, Esa. Saat ini aku sedang menempuh pendidikan di salah satu SMA di Kabupaten Ponorogo. Selain itu, aku juga aktif di Forum Anak, sebuah organisasi penegakan hak anak, wadah partisipasi bagi anak, serta aktif di berbagai kegiatan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan perkawinan anak bersama Lembaga Swadaya Masyarakat.
Sebagai seorang pelajar mengetahui bahwa ada libur sekolah tentu adalah hal yang menyenangkan bagi diriku di awal. Memang aku sempat merasakan perasaan tersebut sebab yang ada dalam benakku adalah aku punya waktu untuk refreshing dari sekolah, akan mempunyai pengalaman homeschooling, dan dapat memperdalam materi pelajaran dengan lebih santai di rumah.
Awal karantina aku sibuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah, melakukan rapat online, membersihkan dan menghias kamar, rajin mencuci tangan, makan buah dan sayur, serta aku mulai mengembangkan hobiku menulis secara lebih luas dengan membuka platform media online yang bernama @ruang.anakmuda, tempat berkumpul anak untuk berbagi informasi edukasi dan editing foto. Semua kegiatan itu aku lakukan untuk mengisi waktuku selama karantina COVID-19.
Ternyata, menjalani karantina tidak sebegitu menyenangkan seperti yang ada dalam ekspektasiku. Perubahan yang sangat mendadak dan aku kurang persiapan untuk menghadapinya. Adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan himbauan untuk tetap di rumah saja sangat berdampak pada kondisi sosial ku. Dampak yang aku rasakan adalah terbatasnya interaksi antara teman sebaya, komunikasi yang terjalin antara anak dan orang tua kurang baik, serta penyesuaian pembelajaran jarak jauh yang lebih menekankan pada tugas. Beberapa hal tersebut memunculkan kecemasan bagiku dan teman-teman di sekelilingku.
Kecemasan yang aku rasakan tidak hanya bersumber dari pembatasan sosial dan penyesuaian kegiatan belajar dari rumah. Akan tetapi, berbagai informasi tentang virus COVID-19 di sosial media yang kebanyakan memberitakan tentang kenaikan jumlah kasus orang positif COVID-19 juga semakin memperkuat kepanikan ku. Terlebih lagi berbagi permasalahan yang muncul dalam kehidupanku seperti permasalahan dari keluarga dan organisasi. Berbagai permasalahan dan kecemasan tersebut membuat aku merasa stres sehingga tubuhku meresponsnya dengan sering migran, gangguan tidur, nafsu makan berkurang, mudah sensitif dan menangis, serta overthinking. Hal ini akhirnya aku sadari bahwa pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19.
Saat ini aku melihat dan merasakan bahwa fokus perhatian publik dan pemerintah adalah pada orang yang positif virus COVID-19 saja. Untuk itu, kasus kesehatan mental ini belum terlalu mendapatkan fokus penanganan yang baik dari pemerintah, terutama pada anak dan remaja. Padahal apabila kesehatan mental terganggu maka akan berakibat pada gangguan suasana hati, kesehatan, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang dapat mengarah pada perilaku buruk, sama seperti yang aku rasakan di awal. Oleh karena itu, penting jika masalah kesehatan mental ini perlu mendapatkan intervensi dari publik dan pemerintah.
Sebagai seorang remaja aku mengetahui bahwa memang belum semua pihak dapat peduli dengan isu kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19. Oleh karena itu, aku mencoba untuk berkontribusi mengurangi permasalahan tersebut, di antaranya dengan mengajak seluruh anggota Paguyuban Anak Ponorogo untuk melaksanakan kegiatan Tiru Asiap (Karantina Seru Asik Bersama Paguyuban Anak Ponorogo). Kegiatannya meliputi pemberian informasi konten edukatif yang dibutuhkan anak dan remaja di saat COVID-19, mengadakan tiktok challenge, membuka platform curhat online antar teman sebaya, dan menulis cerita lawan COVID-19.
Selanjutnya, aku juga aktif mengampanyekan pentingnya menjaga kesehatan mental di sosial media. Sampai pada tanggal 14 Mei lalu, diundang Yayasan Kesehatan Perempuan untuk menjadi narasumber webinar yang bertemakan “Kesehatan Mental Remaja di Tengah Pandemi” dalam kegiatan tersebut aku bersama salah seorang psikolog menjadi narasumber.
Selain itu, aku juga tergabung sebagai tim editing Kampanye We For Her’s (WFH) yang diinisiasi oleh Yayasan Kesehatan Perempuan bersama kelompok dampingannya di Kabupaten Ponorogo, Bojonegoro, dan Blitar. Kampanye ini sebagai bentuk dukungan bagi anak muda atau remaja termasuk remaja perempuan untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 dan dampaknya seperti kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan perkawinan anak. Salah satu kegiatannya berupa mendorong tersedianya layanan kesehatan online yang ramah remaja sehingga dapat menekan dampak adanya permasalahan kesehatan mental bagi remaja di tengah pandemi COVID-19.
Kegiatan yang telah aku lakukan bersama teman-temanku dan lembaga terkait selain bertujuan untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 dan mencegah permasalahan kesehatan mental, juga memiliki misi untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas dan pemerintah untuk ikut peduli pada isu kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19. Aku juga berharap kepada masyarakat luas untuk tidak menghakimi orang di sekitar mereka yang mencoba untuk mengungkapkan perasaan mereka, sebab di saat pandemi COVID-19 bukanlah hal yang mudah untuk dilewati bagi setiap orang serta yang utama kita juga harus saling mendukung untuk bersama-sama lawan virus ini. Yang terakhir aku juga berharap kepada pemerintah agar dapat membuka layanan kesehatan online ramah anak dan remaja yang gratis agar kami dapat berkonsultasi dan mendapatkan solusi atas permasalahan yang kami alami, sehingga dapat menekan gangguan kesehatan mental di tengah situasi saat ini yang dapat berakibat buruk pada diri individu sendiri jika tidak mendapatkan dukungan dan penanganan yang baik.