Sumber: IDN Times
Aktivitas online kini sudah semakin intens dan jadi bagian yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Sayangnya, masih banyak warganet yang belum memahami risiko yang dihadapi dari ranah online, termasuk kekerasan online yang kini kian marak terjadi.
Menyikapi ini, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) mengusung sebuah kampanye global bernama #Girlstakeover: Sehari Jadi Pemimpin, yang merupakan kampanye rutin untuk memperingati Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada 11 Oktober setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, tahun ini tercatat lebih dari 600 anak perempuan dari seluruh Indonesia telah mendaftar secara daring untuk berkompetisi dalam kegiatan #GirlsTakeOver: Sehari Jadi Pemimpin 2020.
Selain berkesempatan mengambil peran para tokoh penting, anak perempuan yang terpilih juga dapat menuangkan aspirasi mereka lewat tulisan opini yang akan dimuat di media mitra Plan Indonesia serta menyebarkan pesannya bersama pegiat sosial lain di berbagai akun media sosial.
Setelah melalui berbagai tahap seleksi, terpilihlah beberapa perempuan muda yang dapat menyuarakan pendapat mereka mengenai kekerasan berbasis gender online (KBGO) kepada teman-teman sebayanya. Dalam diskusi bersama IDN Times pada Kamis (15/10/2020), Phylia sebagai perempuan muda yang terpilih dalam gerakan ini, menceritakan kisahnya terkait kebebasan berekspresi di ranah online serta ancaman kekerasan online yang pernah dialami dan cara mengatasinya. Seperti apa kisahnya?
1. Menurut Phylia, kekerasan online adalah ancaman yang dapat membatasi setiap orang untuk berekspresi di ranah online
instagram.com/planindonesia
Ketika ditanya mengenai kekerasan online, Phylia memaparkan jika ini adalah tindakan atau pelecehan yang dilakukan di ranah online dan paling banyak terjadi di media sosial. Kekerasan online juga kerap dikaitkan dengan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
“Kekerasan online adalah tindakan atau pelecehan yang dilakukan di ranah online, paling banyak di media sosial dan sering dikaitkan dengan kekerasan berbasis gender,” terangnya.
Phylia juga mengatakan, terdapat beragam bentuk kekerasan online yang bisa mengancam kita berekspresi di dunia online. “Ada beberapa bentuk kekerasan online, pelecehan, peretasan, konten ilegal, ancaman distribusi foto atau video pribadi, perekrutan online, dan masih banyak lagi. Di situ, mereka akan merampas kebebasan kita untuk berekspresi di media online dan mengganggu di dunia nyata,” ungkapnya.
Berdasarkan informasi dari Yayasan Plan International Indonesia, KBGO 27 kali lebih sering menimpa perempuan remaja, bahkan dari usia 15 tahun (UN Commission of Broadband). Mengingat pengguna internet di Indonesia mayoritas adalah kaum muda, maka anak dan kaum muda perempuan jadi lebih rentan terhadap KBGO.
“Anak perempuan menjadi individu yang rentan terhadap KBGO karena masih adanya stereotype gender yang memandang anak perempuan lemah (powerless). Menurut SOTWG, KBGO menyerang identitas mereka sebagai anak perempuan maupun konten-konten yang mereka buat di media sosial,” tutur Nazla Mariza, Infuencing Director Yayasan Plan International Indonesia.
2. Mengisolasi diri dari lingkungan sosial dan media sosial adalah bentuk dampak negatif yang timbul akibat kekerasan online
instagram.com/planindonesia
Kekerasan online termasuk jenis-jenisnya, risiko, dan dampaknya, belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Padahal, kekerasan ini sangat merugikan, mengganggu, bahkan dapat memberikan dampak yang serius bagi korban yang setara dengan kekerasan di ruang publik dan domestik.
Nazla Mariza memaparkan beragam bentuk dampak yang bisa dialami korban kekerasan berbasis gender online, terutama bagi anak perempuan. “Dampaknya, anak perempuan merasa rendah diri, hilang kepercayaan diri, mengisolasi diri dari lingkungan sosial dan media sosial, tertekan, yang secara jangka panjang hal ini bisa membungkam suara dan kebebasan mereka dalam berekspresi,” katanya.
Sayangnya, kontrol terhadap kekerasan online, mekanisme, dan penindakan hukum terhadap pelaku masih sangat lemah. Oleh karena itu, Nazla menyarankan agar orangtua dapat lebih meningkatkan pemahaman tentang pengaturan privasi di setiap akun media sosial mereka.
“Orang tua bisa memberi pemahaman pada remaja tentang fakta atau kemungkinan kekerasan yang terjadi di media sosial agar remaja paham dan mengerti. Dalam hal teknis, orang tua bisa meningkatkan pemahaman tentang pengaturan privasi (privacy setting) di setiap akun media sosial mereka, termasuk tidak menyebarkan lokasi mereka berada dan membagi data pribadi. Anak perlu diberikan pengertian tentang tujuan media sosial dan tahu risikonya,” terang Nazla.
3. Menyikapi hal ini, Phylia bertekad untuk mengedukasi teman sebaya agar tidak mengalami hal serupa
instagram.com/planindonesia
“Masih banyak anak perempuan dan perempuan muda yang ragu untuk berekspresi di ruang publik maupun pribadi serta ranah online karena takut mendapatkan ancaman. Bahkan, di lingkungan Phylia sendiri, hal tersebut bisa dibilang cukup sering terjadi,” tutur Phylia.
Ia pun bertekad untuk mengedukasi teman sebayanya agar tak takut berekspresi karena pada dasarnya kita semua hebat dan kuat. “Saya selalu bilang ke teman-teman saya jangan takut untuk berekspresi. Jangan takut sebelum mencoba. Kita punya kreativitas untuk diperlihatkan ke orang lain,” katanya.
Phylia juga menambahkan agar tidak menjadikan omongan orang lain sebagai titik acuan dalam hidup kita. “Jangan jadikan omongan orang lain sebagai titik acuan dalam hidup. Kita semua itu kuat. Diri kamu tetap diri kamu. Jangan malu untuk terlihat berbeda dengan yang lain. Mari kita berteman tanpa memandang suka bangsa dan ras,” tegas perempuan 16 tahun tersebut.
Baca Juga: Plan Indonesia Ajak Masyarakat Cegah Kekerasan Berbasis Gender Online
4. Ia turut berpesan untuk lebih waspada saat menggunakan media sosial dan tidak terlalu menonjolkan kehidupan pribadi
instagram.com/hannahalrashid
Ketika merasa tidak nyaman dan aman di dunia nyata, beberapa orang kerap kali menjadikan media online sebagai tempat pelampiasan. Sayangnya, hal ini bisa jadi peluang bagi pelaku tindak kekerasan untuk masuk ke dalam kehidupan online kita.
Oleh karena itu, Phylia mengatakan untuk tidak terlalu menonjolkan kehidupan pribadi kita kepada semua orang di media sosial. Hal ini patut dilakukan demi menghindari terjadinya kekerasan berbasis gender online.
“Menonjolkan kehidupan pribadi memang hak setiap orang untuk berekspresi. Namun, kita juga perlu waspada dan lebih berhati-hati karena pelaku kekerasan online tersebar di mana-mana. Jangan sampai kita terlalu menonjolkan aktivitas pribadi kita sehingga pelaku dengan mudah mengetahui informasi tentang kita,” cerita Phylia.
5. Selain itu, bagi yang pernah mengalami hal ini, Phylia mengatakan untuk segera mencari bantuan dan melaporkan sang pelaku
instagram.com/hannahalrashid
Kekerasan berbasis gender online pada dasarnya terbagi menjadi beragam bentuk, seperti bullying, peretasan, pelecehan, konten ilegal, ancaman distribusi foto atau video pribadi, perekrutan online, memata-matai (stalking), komentar rasis, dan penyerangan identitas. Bagi yang pernah mengalami hal-hal tersebut, Phylia memberi tips, yakni mendokumentasikan kegiatan yang terjadi, menghubungi bantuan seperti Komnas Perempuan, kemudian laporkan, dan blokir orang tersebut.
Selain itu, untuk lebih jelasnya Nazla Mariza selaku Infuencing Director Yayasan Plan International Indonesia menyampaikan beberapa hal yang bisa kamu lakukan, di antaranya:
- Mencari bantuan / dukungan dari orang yang dipercaya jika mengalami KBGO
- Melaporkan pelaku / penyerang ke platform media sosial yang digunakan
- Mengubah pengaturan akun menjadi lebih privasi dan aman (38 persen)
- Jika ingin melaporkan ke penegak hukum, cari dukungan dari lembaga yang memiliki kapasitas dalam hal pendampingan kasus kekerasan
Sedangkan, selaku orang tua, kamu bisa melakukan dua hal, yakni:
- Jika anak mengalami KBGO, penting bagi orang tua untuk mendampingi anak tersebut, memberikan penguatan mental serta membangun rasa saling percaya dan terus menjalin komunikasi yang terbuka.
- Jika ingin melapor, dampingi anak dalam proses pelaporan serta mencari bantuan dari lembaga atau pihak yang kompeten dalam pendampingan pelaporan. Saat ini di Asia Tenggara, SAFEnet secara aktif berkampanye dan menyediakan platform pelaporan hak berekspresi di https://id.safenet.or.id/laporpelarangan/
Demikian ulasan mengenai kekerasan berbasis gender online dan cara mengatasinya dari Phylia dan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Semoga ke depannya, kita bisa lebih memanfaatkan media sosial dengan lebih positif dan membuatnya menjadi ekosistem yang nyaman untuk berekspresi.
Baca Juga: Girls, Hindari Kekerasan di Dunia Maya dengan 5 Hal Ini