Sejumlah pelanggaran hak-hak Awak Kapal Perikanan (AKP) yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri hingga kini masih terus terjadi. Ironisnya, proses hukum kepada pelaku dan ganti rugi berupa pemenuhan hak-hak korban belum dapat dilakukan secara maksimal.
Pada Maret 2021, sebanyak tujuh orang AKP terlantar di Pelabuhan Perikanan Merauke yang patut diduga menjadi korban praktik kerja paksa. Pada 2020, tercatat 22 orang AKP Indonesia meninggal di atas kapal berbendara asing. Mereka yang meninggal dunia mayoritas merupakan korban praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
Di lapangan, AKP kerap bekerja dalam lingkungan yang dekat dengan bahaya dan ruang kerja yang tidak higienis. Meskipun begitu, profesi ini masih dikategorikan sebagai pekerjaan informal. Oleh karena itu, hak-hak tenaga kerja di industri kapal perikanan tangkap tetap harus dilindungi pemerintah agar tersedia lapangan pekerjaan yang layak dan memadai bagi kesejahteraan masyarakat pesisir.
Hak-hak dan sistem kerja mereka sudah tertuang dalam berbagai regulasi yang diatur oleh Pemerintah Indonesia. Koordinator Kelompok Pengawakan Kapal Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa AKP di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan.

Muatan peraturan menteri tersebut terkait persyaratan kerja, perjanjian kerja, sistem penggajian/upah, jaminan sosial, dan dokumen yang harus dimiliki oleh AKP. Dalam implementasinya, kementerian telah mewajibkan setiap kapal perikanan untuk membuat Perjanjian Kerja Laut (PKL) antara pemilik dengan AKP sebagai persyaratan penerbitan Surat Persetujuan Berlayar. Selain itu, diwajibkan adanya jaminan sosial yang sudah dilayani oleh BPJS Ketenagakerjaan di lokasi-lokasi pelabuhan perikanan.
Sementara itu, upaya perlindungan di dalam negeri, termasuk aspek pencegahan, perlindungan, perbaikan dan penegakan hukum, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sektor Kelautan dan Perikanan, Permen KP Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan, Permen KP Nomor 42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan, dan Permen KP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan.
Iqbal menyatakan, keberadaan SAFE Seas Project sangat mendukung upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan. Hal ini terlihat pada aktivitas implementasi Permen KP Nomor 35 tahun 2015, diantaranya adalah capaian proyek berupa pembentukan Fishers Center di Tegal, Jawa Tengah dan Bitung, Sulawesi Utara, pembentukan tim nasional perlindungan AKP, penyusunan rencana aksi perlindungan AKP, edukasi dan advokasi terkait hak AKP dan kondisi kerja yang layak pada kapal perikanan tangkap.
Pemerintah, melalui kementerian KP, telah memiliki terobosan dan inovasi sistem dalam melindungi AKP seperti misalnya menghadirkan layanan/penyedia jaminan sosial di lokasi-lokasi pelabuhan, dan menerbitkan regulasi terkait HAM perikanan.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi perikanan pada triwulan 1 2020 mencapai 3,52%. Nilai Pendapatan Domestik Bruto Perikanan harga konstan 2010 pada triwulan 1 2020 mencapai 64.495 miliar rupiah. Memang, berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi perikanan pada triwulan 1 dalam periode 2014-2020 cenderung melambat. Namun, pertumbuhan ekonomi perikanan pada triwulan 1 2020 merupakan terendah dalam 6 tahun terakhir.

Pada 2018, pihak kementerian KP mencatat, jumlah nelayan laut di Indonesia sebanyak 1.685.018 orang. Menurut data Fishers Center SAFE Seas Project, dari 45 aduan yang masuk, terdapat 14 kasus melibatkan AKP domestik dan 31 kasus luar negeri. Kasus terkait kerja paksa dan perdagangan orang pada periode 2019-2020 yang sudah terselesaikan sebanyak 58% dan masih dalam proses penyelesaian sebanyak 42%.
Iqbal menambahkan, peran SAFE Seas Project dalam melakukan perlindungan AKP sangat sentral. Oleh karenanya, diperlukan sinergi dalam upaya sosialisasi dan edukasi terkait perlindungan hak-hak AKP. Dalam hal ini, SAFE Seas Project telah melakukan sosialisasi dan edukasi di berbagai daerah untuk mengejawantahkan regulasi pemerintah dan mendorong pemenuhan hak-hak AKP dalam menjalankan profesinya. Bahkan, lebih dari itu, SAFE Seas Project membentuk mitra kerja di daerah sebagai perpanjangan tangan untuk memfasilitasi sekaligus memediasi rekan dan keluarga sesama awak kapal yang tidak sempat tersentuh aktivitas sosialisasi dan edukasi.