Indonesia memiliki populasi kaum muda terbesar keempat di dunia dengan lebih dari 43,5 juta kaum muda antara usia 15 hingga 24 tahun (Februari 2014)1. Namun, dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2014, berjudul “East Asia Pacific at Work: Employment, Enterprise and Well-Being”, lembaga tersebut menyatakan bahwa pengangguran kaum muda yang tinggi dan ketidakmampuan untuk mendapatkan penghasilan yang layak adalah salah satu ancaman terbesar yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia. Dengan sekitar 20% kaum muda Indonesia dan 1/3 dari perempuan muda yang menganggur atau tidak sekolah, pengangguran di antara kaum muda yang berusia 15 hingga 24 tahun sangat tinggi2.
Tingkat pengangguran kaum muda di kota Semarang melebihi rata-rata di Jawa Tengah dan tingkat nasional. Salah satu penyebabnya adalah kesenjangan pasar tenaga kerja, di mana tingkat pekerjaan tidak memenuhi jumlah pencari kerja yang tinggi. Semarang perlu secara kreatif mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi alternatif tambahan untuk meminimalkan potensi peningkatan pengangguran. Perkembangan pesat Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki kapasitas potensial untuk menjadi generator masa depan ekonomi dan pekerjaan di Semarang. Menciptakan iklim ekonomi yang memungkinkan munculnya peluang baru akan menjawab tantangan ekonomi dan pengangguran di Semarang.
Pemberdayaan ekonomi kaum muda di Semarang diimplementasikan oleh Yayasan Plan International Indonesia melalui proyek GIRL (Go Invest in Real Life) untuk memberikan kaum muda yang rentan, terutama perempuan muda, peluang ekonomi melalui pengembangan kewirausahaan mikro dan kolaborasi yang kuat dengan sektor swasta dan lembaga keuangan mikro, di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Proyek yang berjalan dari tahun 2018 ini berhasil mendampingi kelompok kaum muda yang telah menciptakan peluang usaha, salah satunya kelompok usaha Desa Purwosari, Kabupaten Temanggung. Peserta proyek GIRL di Desa Purwosari telah berhasil menjalankan usaha di bidang pertanian, produksi tas karung goni, maupun makanan.
Kegiatan bisnis berjalan dengan baik hingga 2020 ini saat diumumkan mengenai pandemik COVID-19 yang melanda semua negara, semua orang. Bagi pengusaha muda ini, COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga meningkatnya harga bahan baku, terutama bagi yg menjalankan usaha bidang makanan dan minuman. Selain itu, daya beli masyarakat juga menurun sehingga tingkat penjualan juga menurun.
Namun, dengan situasi pandemik COVID-19 saat ini yang berdampak dari sisi kesehatan dan ekonomi pada semua orang, kelompok usaha muda ini memutuskan untuk merespon hal tersebut dengan positif dengan memproduksi masker. Awal mula ide pembuatan masker muncul karena stok masker hijau (Sensi) di pasaran langka dan kalaupun ada, harganya mahal. Padahal masyarakat membutuhkan masker saat berkegiatan di luar rumah atau ketika sakit.
Proses pembuatan masker dilakukan di rumah masing-masing, jadi tidak produksi bersama-sama di 1 tempat. Tedapat 3 jenis masker yang diproduksi sesuai dengan varian bahan yaitu katun kaos, katun seperti sarung bantal, dan spunbound. Produksi masker kain ini juga melibatkan keluarga dan tetangga dekat peserta yang membuat masker sesuai pesanan pembeli. Terdapat 2 jenis pembeli yaitu konsumen akhir yg membeli untuk dipakai sendiri dan reseller atau pengepul yg menjual kembali produk masker ke konsumen akhir.
Usaha pembuatan masker ini turut membantu menggerakkan perekonomian di desa, terutama di kalangan para perempuan yang membuat masker ini. Hasil usaha dari produksi masker ini cukup menambah penghasilan kaum muda, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah naiknya harga bahan-bahan pokok. Menjalankan usaha pembuatan masker ini juga tidak mengganggu proses bisnis yg sudah berjalan karena para pengusaha muda ini tetap menjalankan usaha yang sudah ada.
Oleh: Chiquita Marbun