Ide bisnis tidak harus berasal dari hal yang belum kita pahami. Justru, kita bisa memanfaatkan peluang yang ada di sekitar untuk menghasilkan pendapatan tambahan, seperti yang dilakukan Hana (24 tahun), peserta program Go Invest in Real Life 2.0 (GIRL 2.0).
Selama beberapa tahun terakhir, Hana menggeluti usaha reseller online di Salatiga, Jawa Tengah. Perempuan yang aktif berkegiatan sebagai pendamping belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah ini memasarkan mukena, roti tawar, hingga camilan yang dibeli dari rekan keluarganya.
Ia menjual produk-produk tersebut dengan sistem dropship, alias penjualan dengan pengantaran langsung dari gudang penjual setelah ada transaksi yang dilakukan. Dengan cara ini, Hana bisa berjualan tanpa harus memusingkan biaya produksi ataupun mencari gudang untuk menyimpan barang-barang yang dijajakannya.
Kini, Hana telah memiliki kelompok reseller online. Mereka bersama-sama berjualan melalui platform seperti Instagram, Facebook, WhatsApp, hingga aneka marketplace. Setiap bulannya, kelompok Hana mendapatkan omzet kumulatif sekitar Rp 25 juta. Dari pendapatan tersebut, Hana biasanya mengantongi laba bersih sekitar Rp 700 ribu per bulan. Uang ini kemudian digunakannya untuk membayar listrik dan membantu perekonomian keluarga.
Hana bercerita, teknik reselling dan dropship cocok memang cocok dengan aktivitasnya. “Usaha ini bisa dilakukan di mana-mana dan saya bisa menentukan ritmenya sendiri, tanpa terikat dengan orang lain,” ujarnya.
Dengan demikian, Hana bisa melakukan beragam aktivitas yang lain. Hana juga bisa berjualan dan menulis buku, mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang penulis.
Meningkatkan kemampuan lewat pelatihan GIRL 2.0
Sembari menjalankan usaha reseller, Hana juga terus mengembangkan diri. Sejak Juli 2021, Hana bergabung ke dalam pelatihan GIRL 2.0 yang digagas oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), bersama Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Berbagai peningkatan kapasitas bisnis telah dijalaninya bersama program GIRL 2.0, termasuk coaching bisnis, training of trainers, hingga praktik langsung memfasilitasi wirausaha di desa sekitar tempat tinggalnya.
Belum lama ini, Hana juga mengikuti pelatihan GALS (Gender Action Learning Sustainability) yang membantunya mengembangkan bisnis dari perspektif gender. Melalui pelatihan GALS, Hana pelan-pelan memetakan cita-citanya hingga 5-10 tahun ke depan. Ia pun menemukan bahwa ia bercita-cita membuat buku dan mengolah sampah untuk membantu mengurangi dampak krisis iklim.
“Sekarang, sampah sudah banyak banget. Saya pengin belajar lebih banyak soal lingkungan, karena (sekarang) cuma gelisah dan enggak tau mau ngapain. Walau belum bisa mengolah sampah plastik, sekarang saya mulai mengumpulkan remaja dengan minat yang sama,” tutur Hana.
Perempuan yang telah menjalankan bisnisnya hingga ke luar Jawa ini juga menyampaikan, pelatihan GIRL 2.0 telah membawa banyak dampak positif. “Saya lebih percaya diri dalam berbicara. Saya berani mengungkapkan pendapat, juga bisa mencatat pemasukan dan pengeluaran,” ujarnya. Seperti puluhan peserta GIRL 2.0 lainnya, Hana masih harus terus mengasah dan memetakan bisnisnya. Namun, Hana berpendirian teguh. Ia berpesan, jangan takut gagal dan teruslah mencoba sampai berhasil—sampai apa yang kita lakukan bisa menjadi pengalaman.