
Mohammad Hilmi Faiq, Jurnalis Kompas
Faruk Hakam sadar bahwa tanpa pendidikan yang memadai, sulit bagi seseorang untuk hidup dengan baik di masa depan. Untuk itu, dia kembali ke sekolah setelah sempat putus sekolah selama dua tahun. Remaja yang kini menjadi salah satu anak sponsor Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) ini pun berulang kali membujuk puluhan temannya yang juga putus sekolah untuk kembali menimba ilmu di sekolah karena dia tak ingin masa depan kawan-kawannya suram.
Faruk Hakam (17) duduk dengan penuh percaya diri ketika berbincang di rumahnya, Desa Tonggurambang, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, Rabu (1/6/2022). Berkemaja warna gelap dengan dua kancing teratas tidak dikaitkan, suaranya yang serak dan bertenaga menunjukkan bahwa Faruk yang akrab disapa Bojes ini mempunyai keberanian dan prinsip memperjuangkan hal yang dia yakini.
Dia tersenyum ketika bercerita tentang kelulusannya dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Pelita Harapan Rakyat (PKBM Pelihara) di Desa Aeramo. Ini adalah sekolah Paket B yang dienyam Bojes gara-gara dia pernah bosan sekolah. Senyum itu antara lain mengandung arti bahwa dia senang karena akhirnya bisa sekolah lagi dan melewati ujian akhir hingga lulus. Kini, dia menjadi pejuang yang membujuk anak-anak putus sekolah agar kembali memakai seragam, sepatu, dan menenteng tas untuk belajar bersama seperti dulu.
Menyesal
Sebelumnya, selepas lulus dari Sekolah Dasar Tonggurambang pada 2017, Bojes melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Nagekeo, tetapi hanya bertahan setahun dan pindah ke Madrasah Tsanawiyah Marapokot. Bojes yang mulai remaja memasuki pergaulan yang lebih luas. Temannya banyak. Lintas usia dan lintas desa.
Bojes dikenal pandai bergaul sehingga mudah diterima oleh kelompok anak muda di banyak tempat. Pergaulan ini menyeret Bojes ke gaya hidup yang tidak sehat. Dia sering berkumpul dan begadang hingga pagi. Tidak jarang pula mabuk moke, terutama saat ada pesta perkawinan. ”Saya mudah penasaran dan ingin coba-coba,” kata Baojes tentang gaya hidupnya yang tak sehat kala itu.
Oleh karena kerap begadang, Bojes sering bangun siang lalu bolos sekolah. Kebiasaan itu terus berlanjut sehingga pada saat awal kelas II di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), dia memilih putus sekolah dan meneruskan begadang, mabuk moke, sampai kebut-kebutan sepeda motor sambil mabuk. Sebagian besar teman Bojes adalah anak-anak yang putus sekolah juga. Di Desa Tonggurambang ini, tak kurang dari 300 anak putus sekolah.
Lalu pandemi Covid-19 datang, pergerakan di luar rumah dibatasi. Bojes kini lebih banyak di rumah, sementara teman-teman sekolahnya terus belajar meskipun tak di sekolah. Mereka biasanya berkumpul di mushala, sekitar 150 meter dari rumah Bojes. Ketika mereka pulang dan melintas di depan rumah, Bojes bersembunyi.

Saat itu, mulai ada yang mengusik hatinya dan malu bertemu dengan teman-temannya yang terus sekolah. ”Lalu saya duduk termenung. Aih, buat apa di luar tidak ada guna. Lontang lantung tidak jelas, masih usia sekolah,” kata Bojes tentang kemelut hatinya saat itu.
Suatu siang, Bojes main ke rumah temannya, Nadia, yang juga putus sekolah. Dia duduk-duduk tidak jelas di sana menghindar dari rumah agar tidak diminta ayahnya, Ali Sadikin (52), untuk membajak sawah. Saat itu datang salah satu perempuan guru dari PKBM Pelihara yang hendak membujuk Nadia untuk kembali sekolah. Dipanggil-panggil, Nadia tak kunjung muncul. Malah Bojes yang lantas berdiri dan menyampaikan niatnya untuk ikut sekolah Paket B di PKBM Pelihara.
Sejak itu, Bojes tiga kali dalam sepekan melaju menggunakan sepeda motor ke Desa Aeramo, sekitar 20 kilometer dari desanya. Dia juga bergabung dengan komunitas Memilih Masa Depan (Mapan) di desanya, sebuah komunitas kaum muda yang diinisiasi Plan Indonesia.
Bojes gembira bukan main karena ternyata ada belasan siswa yang sekolah kejar Paket B. Di sana ada ibu-ibu yang menggendong anak juga para janda korban kawin muda, yang begitu semangat belajar.
Sepulang sekolah, dia bercerita kepada teman-temannya yang putus sekolah. Bojes punya kemampuan persuasi yang bagus dalam bergaul. Satu per satu temannya bersedia mengikuti kelas paket, mulai dari Paket A, B, hingga C. Tak kurang dari 30 anak akhirnya bersekolah berkat bujukan Bojes. Dia senang bukan kepalang karena temannya makin banyak dan terbayang masa depan mereka makin cerah seperti kata para guru Bojes. Saking semangat dan bahagianya, Bojes tidak keberatan menjemput teman-temannya yang tidak punya kendaraan untuk dia bonceng ke sekolah.
Sayangnya, banyak di antara mereka tidak bertahan lama. Satu per satu tak lagi datang ke sekolah. Alasannya klasik, tidak ada kendaraan. Ayah bojes, Ali Sadikin, sempat mengusulkan agar dibuka kelas di Tonggurambang dan dia bersedia menyiapkan rumah untuk jadi ruang kelas. Dengan begitu, anak-anak tak perlu jauh-jauh ke PKBM Pelihara di Aeramo. Usulan ini sempat diiyakan, tetapi sayangnya tak kunjung direalisasikan pihak sekolah.
Namun, Bojes tidak menyerah untuk membujuk kawan-kawannya kembali ke sekolah. Apalagi, para orangtua dari teman-teman Bojes itu ingin sekali anak-anaknya kembali sekolah, tetapi tak tahu lagi cara membujuk mereka. Sampai-sampai beberapa di antara mereka meminta Bojes merayu anak-anak itu. Ada yang sampai menangis di hadapan Bojes. Mereka bersedia membelikan sepeda motor asal anaknya bersedia sekolah. Bojes mengeluarkan jurusnya dan ada yang bersedia untuk sekolah. ”Sudah mau daftar. Bawa rapor, bawa KK, pas mau pergi, dia berubah lagi. Berat,” kata Bojes dengan nada kecewa saat bercerita tentang salah satu temannya yang dia bujuk itu.
Coba cara baru
Selain lingkungan pergaulan yang tidak sehat, faktor lainnya adalah keluarga. Bojes teringat seorang kawannya yang ditinggal cerai orangtuanya. Ibunya pergi keluar pulau, ayahnya keluar kampung, dan dia tinggal bersama neneknya yang tak mampu lagi mengasuh dengan baik karena usia. Anak ini gagal dirayu Bojes dan sekarang lebih banyak berada di pantai, tidak jelas kegiatannya. ”Orang Mbay bilang, senge lenge,” kata Bojes untuk mengatakan temannya itu sekarang plonga-plongo karena tidak sekolah.
Meskipun demikian, Bojes, yang juga anak sponsor Plan Indonesia ini, tidak patah arang mengajak teman-temannya kembali ke sekolah. Bojes segera masuk salah satu Madrasah Aliyah Negeri dan tak ingin sukses sendirian. Dia sudah menyiapkan strategi untuk membujuk kembali kawan-kawannya itu. Jika cara itu gagal, Bojes berencana membawa polisi untuk meyakinkan teman-temannya. ”Biar ditangkap polisi saja kalau tidak mau sekolah,” ujar remaja yang juara lomba baca Al Quran tingkat kecamatan ini.
Ungkapan itu menunjukkan betapa serius Bojes terhadap masa depan kawan-kawannya meskipun untuk sementara dia kehabisan akal. ”Pokoknya anak-anak yang berhenti sekolah itu saya benci sekali. Rugi sekali (mereka),” Bojes geram sembari terus mencari cara membuat teman-temannya kembali sekolah.
Faruk Hakam
Lahir: Nagekeo, September 2005
Ayah: Ali Sadikin
Ibu: Siti Masita
Anak kedua dari tiga bersaudara
Pendidikan:
– SD Inpres Tonggurambang (lulus 2017)
– Mts Negeri Nagekeo (pindah)
– Mts Marapokot kelas (tidak lulus)
– PKBM Pelihara Aeramo Paket B (2022)
Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Sosok Harian Kompas, tanggal 3 Juni 2022.