Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studi Girls Not Brides, 1 dari 8 perempuan di Indonesia sudah kawin sebelum berusia 18 tahun. Kondisi ini mengancam hak-hak anak, dengan munculnya risiko putus sekolah, kehamilan yang berisiko, hingga meninggalnya ibu dan bayi saat persalinan. Selain itu, perkawinan anak juga memiliki risiko besar menyebabkan masalah gagal tumbuh kembang anak atau stunting terhadap anak yang dilahirkan tanpa kesiapan fisik dan mental, terlebih bagi orang tua yang masih termasuk dalam usia anak.
Sayangnya, Pengadilan Agama mencatat di tahun 2022, terdapat 55 ribu permohonan dispensasi yang diajukan oleh masyarakat. Meski angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 66 ribu permohonan, hal tersebut menampilkan masih tingginya kecenderungan masyarakat untuk melakukan praktik perkawinan anak di Indonesia.
Dispensasi Perkawinan Anak Menjadi Celah Perkawinan Anak Meningkat
Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mendorong batas usia minimum menikah, yaitu menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, yang sebelumnya hanya 16 tahun. Namun, pada pasal 7 ayat 2, pemerintah seolah tidak konsisten menolak perkawinan usia anak, karena justru memberikan celah dengan menghadirkan kebijakan dispensasi perkawinan anak.
Celah tersebut tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Perkawinan. Pasal 1 ayat 6 dari Perma ini menerangkan, Dispensasi Kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
Di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, diperoleh fakta bahwa keputusan dispensasi perkawinan anak didasarkan pada pertimbangan alasan mendesak karena kehamilan atau telah terjadi perkawinan siri. Faktor lainnya adalah masih kuatnya kesalahpahaman masyarakat terhadap budaya “Merarik” yang merupakan salah satu tradisi Sasak di Lombok yang ditengarai memperbolehkan laki-laki membawa lari perempuan untuk dinikahi. Sehingga, budaya Merarik ini sering dijadikan modus “dibolehkannya perkawinan usia anak” dan bisa jadi penyebab yang memengaruhi keputusan hakim agama.
Fakta ini memperlihatkan, jika keputusan dispensasi perkawinan belum mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Hakim masih terjebak dalam bias antara nilai-nilai budaya tertentu sehingga tidak memperhatikan bagaimana hak-hak anak terampas pasca dispensasi itu diberikan.
Padahal, Merarik bertujuan untuk melindungi, menghormati serta menjunjung tinggi hak-hak perempua, karena perempuan diberikan kewenangan penuh dalam menentukan mengenai kapan dan dengan siapa ia akan menikah. Pada prinsipnya, Hukum Adat Merarik dalam tradisi Sasak memiliki ketentuan antara lain: “Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yaitu hukum agama dan negara;” dan “Tidak boleh terdapat ketidaksepakatan kedua belah pihak. Jika salah seorang calon pengantin tidak mau untuk menikah maka ia berhak untuk dilindungi oleh Hukum Adat.” (Raden M. Rais-Majelis Adat Sasak Paer Bat; 2018).
Menangkal kesalahpahaman masyarakat, pada tahun 2021, Bupati Lombok Barat bekerja sama dengan DP2KBP3A Lombok Barat dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) telah membuat Program Gerakan Anti Merarik Kodeq (GAMAK) sebagai upaya pencegahan perkawinan anak dan stunting.
Melalui program Stunting Prevention, Adolescent Health, End of Violence Against Children and Youth (SPACE), Plan Indonesia juga menghadirkan inisiatif Gema Cita dalam mencegah perkawinan anak, kehamilan remaja, dan kekerasan terhadap anak. Khususnya, di dua wilayah dampingan, yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sukabumi, melalui pendekatan pendidik sebaya.
Tidak berhenti di situ, Plan Indonesia melalui Gema Cita juga berupaya mewujudkan lingkungan yang mendukung bagi anak dan kaum muda. Tujuannya, agar mereka dapat berpartisipasi secara positif, bermakna, dan suara mereka didengar serta dipertimbangkan oleh orang dewasa. Caranya adalah dengan mengoptimalisasi fungsi dengan melakukan pendampingan terhadap Sekolah Ramah Anak (SRA) dan PATBM lewat berbagai pelatihan dan pendampingan rutin. Saat ini, kegiatan diskusi HKSR di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lombok Barat telah melatih kurang lebih dari 4.200 anak dan kaum muda, 310 di antaranya adalah pendidik sebaya, agar meningkatkan agensi mereka terkait penolakan terhadap perkawinan usia anak.
Praktik baik tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pusat untuk dampak yang berkelanjutan. Selain itu, diperlukan pula optimalisasi pelibatan partisipasi remaja dan kaum muda yang bermakna. Artinya, kehadiran anak dan kaum muda tidak hanya untuk memenuhi syarat kuantitas, tapi ide dan gagasan mereka juga perlu didengar dan dipertimbangkan untuk menjadi suatu keputusan terkait dengan permasalahan mereka.
Perkawinan anak jelas merupakan pelanggaran atas hak anak dan termasuk kekerasan terhadap anak. Mereka adalah korban atas kehendak orang di lingkungannya atau atas minimnya pengetahuan, pemahaman tentang diri, batasan dan pertanggungg-jawaban, hingga risiko dan dampak atas perkawinan anak. Maka, mari bergandeng tangan, bekerja sama, bergotong royong dengan kolaborasi yang lebih terintegrasi, mengemban peran yang lebih kuat dan bertanggungjawab. Bersama-sama, mari hapus perkawinan anak di Indonesia!