Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia, dengan 1,12 juta orang hidup dalam kemiskinan (BPS, 2024). Daerah ini mengalami berbagai tantangan, termasuk minimnya lapangan pekerjaan, keterbatasan akses pendidikan, hingga infrastruktur yang tidak memadai. Tantangan ini semakin memperparah kondisi di NTT, terutama di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang memiliki penduduk miskin terbanyak (117.000 orang) dan angka stunting tertinggi (8.924 kasus) di wilayah tersebut (BPS NTT, 2024). Keadaan ini membuat kehidupan sehari-hari menjadi sulit bagi masyarakat TTS, termasuk Adi, seorang wanita berusia 29 tahun yang berjuang melawan kesulitan sosial ekonomi.
Lahir dari keluarga besar dengan 11 orang saudara kandung, Adi tumbuh di keluarga dengan ayah yang bekerja sebagai petani sekaligus peternak dengan penghasilan minim. Setelah lulus SMA pada tahun 2016, Adi menghadapi keterbatasan kesempatan pekerjaan yang akhirnya membuatnya terpaksa merantau. “Meninggalkan desa adalah pilihan terbaik yagn saya miliki pada saat itu.. Saya mengikuti teman-teman untuk mencari pekerjaan di luar ,” ujar Adi.
Selama 2017-2021, Adi tinggal di Bali dan Mataram dan bekerjasa secara serabutan. Namun dengan berbagai upaya inipun, Adi hanya memperoleh penghasilan maksimal sebesar 2 juta rupiah per bulannya. Situasi ini semakin parah pada saat pandemi COVID-19 melanda, sehingga memaksa Adi untuk kembali ke TTS . Sekembalinya ia ke desa, , Adi membantu orang tua dan saudaranya untuk mengolah lahan yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Pada tahun 2024, Adi terseleksi untuk menjadi salah satu penerima manfaat dari program Youth-Led Agri-food (YLAF) yang diimplementasikan oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Melalui dukungan dari Citi Foundation, program YLAF dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan bertani dan beternak bagi kaum muda di TTS, khususnya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi prevalensi stunting di wilayah tersebut.
Adi dan teman-temannya membentuk kelompok tani-ternak ‘Semut Putih’, di mana mereka belajar cara menggunakan alat pertanian, mendapatkan bantuan bibit sayuran, hingga teknik budidaya ayam petelur. Setelah hampir setahun, usaha Adi mulai membuahkan hasil. Adi kini berhasil mengelola lahan seluas 4 are dengan 18 bedeng secara mandiri, menanam tomat, sawi putih, hingga pakcoi kumbang. Setiap siklus panen per tiga bulanan, Adi dapat memperoleh penghasilan kotor sebesar 10 juta rupiah . Selain itu, melalui penjualan telur bersama rekan-rekan Semut Putih, Adi juga berhasil mendapatkan penghasilan kotor kumulatif (dibagi dengan kelompok) sekitar 7,2 juta rupiah per bulan. “Penghasilan ini sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Saya jadi bisa memberi uang jajan untuk adik-adik dan anak saya, sekaligus menabung sisa uangnya untuk membeli bibit,” jelas Adi.
Adi berharap usahanya bisa terus berkembang dan berharap agar suaminya yang sedang merantau ke Kalimantan dapat kembali ke Soe dan berkumpul bersama anak mereka yang baru berusia sekitar 1 tahun.
“Saya berharap keluarga kami dapat kembali berkumpul bersama-sama. Terima kasih YLAF untuk kesempatan yang diberikan,” tutup Adi.
Penulis: Agus Haru
Editor: Masajeng Rahmiasri