Mataram, 01 September 2022—Perkawinan anak masih terus terjadi di Indonesia, bahkan, angkanya menduduki posisi tertinggi kedua di ASEAN. Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 mencatat sekitar 1.220.900 anak di Indonesia mengalami perkawinan usia anak, ini belum termasuk praktik perkawinan anak di bawah tangan (nikah siri).
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tercatat masuk dalam tujuh besar angka kasus perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Untuk menekan angka perkawinan anak, Pemerintah Provinsi NTB mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat implementasi peraturan ini, Pemerintah Provinsi NTB menggandeng Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) untuk bekerja sama secara formal, yang dituangkan melalui nota kesepahaman (MoU) dan perjanjian kerja sama (PKS) tentang pencegahan perkawinan anak di provinsi ini. Penandatanganan MoU dilaksanakan di Kantor Gubernur NTB di Mataram oleh Wakil Gubernur NTB Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd dan dan Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti, Kamis (1/9/2022).
Sitti Rohmi mengatakan, upaya pencegahan perkawinan usia anak membutuhkan kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk Plan Indonesia. Dengan adanya kerja sama secara formal ini, ia berharap langkah-langkah pencegahan perkawinan anak di NTB yang selama ini telah dijalankan Plan Indonesia di beberapa kabupaten di NTB dapat diperkuat dan diperluas dampaknya ke seluruh provinsi.
“Kami juga berharap, dengan kerja sama ini, dapat mendukung upaya untuk memperkuat implementasi perda yang telah dikeluarkan agar benar-benar berfungsi dan hadir sebagai instrumen hukum yang kuat untuk menurunkan angka perkawinan anak,” ujar Sitti Rohmi.
Perda yang disahkan pada Januari 2021 tersebut di dalamnya mengatur sanksi bagi pelanggar dan rewards bagi yang berkontribusi menekan angka perkawinan anak. “Kami saat ini terus menyosialisasikan perda ini dan mengedukasi masyarakat untuk menghindari perkawinan anak agar generasi masa depan NTB terselamatkan,” kata Sitti Rohmi.
Sementara itu, Dini Widiastuti mengungkapkan, perjanjian kerja sama ini menjadi langkah positif untuk mendorong upaya pencegahan perkawinan anak di NTB secara lebih kuat dan berdampak luas ke depan. Di NTB sendiri, lanjut dia, salah satu upaya yang telah ditempuh Plan Indonesia dalam pencegahan perkawinan anak adalah melalui Program Gema Cita (Generasi Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak).
“Program ini berkolaborasi dengan pemerintah, kelompok kaum muda, sekolah dan organisasi masyarakat, khususnya di Lombok Barat. Selain di NTB, program ini juga diimplementasikan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ini merupakan upaya keberlanjutan memperkuat advokasi pencegahan perkawinan anak di dua provinsi tersebut,” ujar Dini.
Gema Cita dirancang untuk melanjutkan praktik baik yang dilakukan Plan Indonesia dan mitra sebelumnya untuk memperkuat remaja dan kaum muda, terutama perempuan, dalam mengambil keputusan tepat agar bebas dari perkawinan anak dan kehamilan remaja. Di samping itu, program ini juga mendorong terciptanya lingkungan yang mendukung bagi remaja dan kaum muda dalam bentuk penguatan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis
Masyarakat (PATBM), sekolah ramah anak dan forum anak. PATBM terbukti berhasil mendorong kapasitas dan komitmen pemerintah dan warga desa termasuk remaja dan kaum muda dalam memerangi perkawinan anak dan kehamilan remaja secara lebih terstruktur, holistik, dan integratif.
Sembilan Faktor
Lebih lanjut Dini mengungkapkan, studi yang dilakukan Plan Indonesia bersama Koalisi Perempuan Indonesia (2019) menemukan, setidaknya terdapat sembilan faktor pendorong praktik perkawinan anak masih terjadi, yaitu faktor sosial (28,5%), kesehatan reproduksi (16,5%), pola asuh keluarga (14,5%), ekonomi (11,9%), teknologi informasi (11,1%), persepsi budaya yang berbeda (10,1%), pendidikan (5,6%), persepsi agama yang berbeda (1,4%), dan hukum (0,4%).
Dampaknya pun kompleks, seperti putus sekolah, kesehatan ibu dan anak yang terganggu, kekerasan dalam rumah tangga, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, angka perceraian yang tinggi, dan juga stunting.
Beberapa rekomendasi dari hasil riset tersebut adalah mendorong lahirnya kebijakan, program, anggaran dan implementasi kegiatan yang efektif di tingkat provinsi, kabupaten, kota dan desa, serta peningkatan kapasitas dan agensi kepada anak, remaja maupun orangtua. Sebagai bagian dari upaya meningkatkan kapasitas dan pengetahuan anak dalam pencegahan perkawinan anak, Plan Indonesia bersama Bappenas dan Pemprov NTB pada 4 Agustus 2022 lalu meluncurkan Buku Saku Pencegahan Perkawinan Anak.
“Kami percaya, anak dan remaja memiliki potensi dan kapasitas untuk berdaya dalam memutuskan yang terbaik bagi diri dan masa depannya. Hal ini yang perlu kita dukung dan terus perkuat,” kata Dini. Dalam jangka panjang, upaya-upaya ini diharapkan dapat berkontribusi pada penurunan angka perkawinan anak di Indonesia sesuai dengan target Pemerintah Indonesia, yaitu 8,74% di 2024 dan 6,94% di 2030. “Oleh karena itu, kita perlu melangkah bersama untuk mewujudkan harapan tersebut,” tandas dia.