Pandemik COVID-19 telah meningkatkan kasus perkawinan anak Indonesia. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan dispensasi perkawinan yang mencapai angka 64,2 ribu pada tahun 2020, dimana angka ini meningkat sekitar tiga kali lipat atau 177,7% dari tahun 2019[1].
Dalam pencegahan perkawinan anak, sinergi dari berbagai pemangku kepentingan merupakan hal yang vital. Dalam skala daerah, pemerintah daerah memiliki peran penting untuk menghasilkan peraturan daerah (Perda) yang berperan sebagai payung hukum dalam pencegahan kasus perkawinan anak di tingkat daerah hingga kabupaten/kota.
Berangkat dari urgensi serta komitmen untuk mendorong percepatan penyusunan Perda Pencegahan Perkawinan Anak (PPA), Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) mengadakan Policy Corner kedua dengan topik ‘Strategi Percepatan Penyusunan Perda Pencegahan Perkawinan Anak: Inovasi dan Pembelajaran dari Provinsi NTB’ yang telah diselenggarakan pada 31 Maret 2021. Melalui Policy Corner kedua ini, Plan Indonesia bertujuan untuk menyediakan forum diskusi lintas pemangku kebijakan untuk melakukan pertukaran ide/gagasan, data dan informasi terkait penyusunan dan implementasi Perda PPA di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dapat menjadi contoh bagi percepatan penyusunan Perda PPA di berbagai daerah lainnya.
Diskusi dalam Policy Corner membahas berbagai isu menarik, seperti strategi implementasi, prakarsa penyusunan,dan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan dalam penyusunan Perda PPA. Hasil diskusi ini kemudian akan dirangkum menjadi Policy Brief yang berisi berbagai rekomendasi kebijakan strategis untuk mempercepat penyusunan Perda PPA di daerah lainnya.
NTB merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Berbagai hal menyebabkan tingginya perkawinan anak di NTB. Rohika Kurniadi Sari, S.H, M.Si, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan KPPA, mengungkapkan bahwa, “Penyebab perkawinan anak di NTB merupakan budaya, sehingga penting adanya perubahan nilai dan norma dalam masyarakat yang mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap perkawinan anak.”
Oleh karena itu, pada Januari 2021, Perda PPA telah disahkan di NTB dengan tujuan untuk mendorong pemenuhan hak anak, membangun nilai, norma dan cara pandang yang mencegah perkawinan anak, menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif, menurunkan angka perkawinan, meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak.
Para narasumber memaparkan mengenai pentingnya implementasi serta sosialisasi dari Perda yang baru disahkan pada bulan Januari. Hj Husnanidiaty Nurdin, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Provinsi NTB, mengungkapkan, “NTB berada di peringkat ke-7 dengan persentase 16,61% dari seluruh total angka perkawinan di Indonesia. Diharapkan dengan hadirnya Perda ini, masyarakat, tokoh-tokoh, dan kepala dusun lebih memahami peraturan ini sehingga dapat mencegah terjadinya perkawinan anak.”
Lebih jauh, Akhdiansyah, S.Hi, Komisi V DPRD Provinsi NTB, menjelaskan “Perda ini bertujuan untuk mendorong fungsi koordinasi dalam bekerja secara masif dan kolektif bersama instasi-instansi pemerintah untuk mengambil peran yang tegas dalam menjadi garda utama dalam pencegahan kasus perkawinan anak. Selain itu, dengan adanya sanksi yang diterapkan diharapkan dapa menjadi lampu kuning bagi mereka yang mendukung perkawinan anak agar tidak melakukannya lagi.”
Policy Corner yang diinisiasi oleh Plan Indonesia juga menghadirkan beberapa narasumber dari perwakilan lembaga yang juga terlibat dalam penyusunan Perda PPA. Seluruh narasumber berpendapat bahwa tidak hanya sampai tahap penyusunan, implementasi baik dari Perda ini juga perlu dipastikan. Syukran, Perwakilan Lembaga Perkawinan Anak, mengungkapkan, “Dalam implementasi Perda PPA ini perlu adanya pemetaan dan analisis kebutuhan yang diperlukan, adanya peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan serta sinergitas yang ada sampai pada tahap monitoring dan evaluasi kolaboratif.”
Dalam pencegahan perkawinan anak, sinergi antara berbagai pemangku kepentingan dan salah satunya adalah anak dan kaum muda juga dibutuhkan. Hal ini senada dengan Plan Indonesia yang selalu berupaya untuk mewujudkan partisipasi kaum muda yang bermakna dalam berbagai isu.
Wulan Astiningrum, Aktivis Pencegahan Perkawinan Usia Anak, Forum Anak Kabupaten Lombok Utara, menggaris bawahi pentingnya peran anak dalam pencegahan perkawinan anak. “Anak muda diharapkan dapat menjadi pelopor dan pelapor serta berani berkata tidak kepada perkawinan anak. Forum anak juga sangatlah membatu pencegahan perkawinan anak. Di NTB, sebagai contoh forum anak desa seringkali membantu memberikan informasi kepada forum anak di kabupaten terkait kasus pernikahan anak yang terjadi di desa”
Dukungan terhadap pelibatan pemuda dalam pencegahan perkawinan anak juga diungkapkan oleh Nina Sardjunina, Team Leader Sekretariat Sustainable Development Goals (SDGs), Badan Pembangunan Nasional yang mengatakan bahwa keterlibatan inklusif pemuda tidak hanya melihat pemuda sebagai objek dan target dari sebuah kegiatan maupun kebijakan, namun sebagai mitra bahkan inisiator pembangunan. Plan Indonesia menghadirkan Policy Corner, sebuah dialog kebijakan bulanan yang membahas tentang berbagai isu kebijakan terkait kesetaraan anak dan hak anak perempuan. Selain berperan sebagai forum diskusi bagi para pemangku kepentingan untuk berdiskusi, setiap Policy Corner akan dimanfaatkan untuk melakukan diseminasi informasi dalam bentuk Policy Brief yang berisi analisis dan rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan kepada pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya.
[1] Komnas Perempuan, CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021