
“Pemberdayaan bagi anak-anak pinggiran adalah tentang memampukan mereka menciptakan banyak pilihan dalam hidupnya, terlepas bagaimanapun kondisi anak-anak tersebut saat ini . Anak yang berdaya bisa memilih mau apa dan jadi apa. Tidak seorangpun berhak hidup dalam keterpaksaan karena keadaan“ “Ungkap Saneri di sesi wawancara yang diadakan sebelum keberangkatannya untuk mewakili Yayasan Plan International Indonesia dan Plan International ke Switzerland. Saneri akan menjadi pembicara mengenai “Girls Empowerment as Human Rights Defenders” di Day of the General Discussion (DGD) of the UN Committee on the Rights of the Child 2018 – “Protecting and Empowering Children as Human Rights Defenders”.
Memiliki cita-cita, apalagi bekerja di sebuah lembaga Internasional, bukanlah hal yang biasa bagi Saneri. Sebagai seorang pemulung, Saneri kecil tahu bahwa memiliki cita-cita apalagi pilihan dalam hidup adalah sebuah kemewahan. Sedari kecil, Saneri tidak mendapatkan hal-hal mendasar yang dianggap sebagai sesuatu yang biasa bagi sebagian besar anak, bisa bermain dan bersekolah. Berawal sejak ibu Saneri meninggal dunia saat Saneri berumur 7 tahun, Saneri tinggal di wilayah kumuh pinggiran Jakarta dan bekerja sebagai pemulung. Hal itu adalah satu-satunya cara yang ia tahu untuk bertahan hidup.
Adalah Sanggar Anak Akar (SAA) organisasi “akar rumput” untuk pendidikan anak pinggiran, yang bekerja di wilayah Saneri tinggal yang memberikan kesempatan itu. Melalui SAA, Saneri dan teman-temannya bisa belajar sambil bermain, seperti membaca buku, bermain musik, dan bermain seni peran. Berinteraksi dengan kelompok relawan hak anak seperti SAA membangun kesadaran dalam diri Saneri, haknya sebagai anak serta nilai-nilai kemanusiaan, dan keinginan untuk kelak bekerja membantu anak-anak yang tidak memiliki kesempatan seperti dirinya.
Sejak SD sampai kuliah, Saneri tidak pernah mengeluarkan uang sepersenpun untuk biaya pendidikannya, melainkan mendapatkan beasiswa baik dari individu maupun institusi. Saneri sadar, ketika kecil haknya sebagai anak tidak terpenuhi, ia adalah korban. Melalui pendampingan yang intensif, Saneri bangkit mencari berbagai peluang dalam meniti masa depannya, termasuk pindah ke tempat yang lebih layak ke rumah SAA. Sampai akhirnya ia berkuliah, menjadi aktivis perempuan muda untuk pemenuhan hak anak, dan bergabung dengan Plan International Indonesia bahkan sebelum ia lulus kuliah (Sekarang: Yayasan Plan International Indonesia). Niat Saneri hanya satu, sebagai seorang peyintas, ia harus membantu Saneri-Saneri lain, anak-anak pinggiran, untuk hidup di lingkungan yang lebih layak dan bisa kembali mendapatkan haknya sebagai anak.
Yayasan Plan International Indonesia pun membuka peluang yang adil bagi semua orang dengan visi dan misi yang menjunjung tinggi hak dan kesetaraan pada anak, terutama anak perempuan. Melihat Saneri yang sudah memiliki banyak pengalaman, individu yang semangat, dan mempunyai “can-do” attitude yang baik, ia secara resmi mengawali karirnya bekerja di Plan International Indonesia sebagai Child and Youth Engagement Coordinator. Selama 4 tahun, karirnya terus menanjak. Saat ini, Saneri dipercaya sebagai Child and Youth Participation Advisor.
Sadar akan pentingnya peran kaum muda untuk menyuarakan pemenuhan hak anak, terutama bagi anak perempuan yang lebih rentan dan kerap kali menjadi korban, Saneri beserta para aktivis muda dampingan Yayasan Plan International Indonesia menginisiasi gerakan kaum muda bernama Youth Coalition for Girls (YCG). Baginya, YCG adalah gerakan kolektif sekaligus ruang aman bagi kaum muda untuk saling belajar, bertukar pikiran, dan menyuarakan isu-isu terkait dengan hak anak perempuan. Melalui karya-karya yang ia buat selama bekerja di Yayasan Plan International Indonesia, dan posisinya yang strategis di mana ia bisa mengadvokasi pemerintah, mitra LSM, juga melakukan pendampingan langsung bagi anak-anak dan kaum muda untuk lebih berdaya dan bersuara, membawa Saneri mewakili Yayasan Plan International Indonesia di konferensi, maupun pertemuan bertaraf internasional,termasuk menjadi pembicara di Day of the General Discussion (DGD) of the UN Committee on the Rights of the Child 2018 – “Protecting and Empowering Children as Human Rights Defenders” di Geneva.