Nenek Ne, itulah panggilan akrab dari seorang Nenek lanjut usia yang tinggal di Desa Wae Codi, Kecamatan Cibal Barat, Kabupaten Manggarai. Tangan kiri Nenek Ne tidak dilengkapi jari-jari, namun hal ini tidak menghalanginya untuk beraktifitas. Berangkat dari keterbatasannya, Nenek Ne yang memiliki nama lengkap Kornelia Dais ini tidak tinggal diam dan menunggu bantuan namun ia datang menghampirinya, ia terus menjalani hidup, terus berusaha dengan keterampilan yang ia miliki.
Berbekal ketrampilan yang ia punya, Nenek Ne ini terus menghasilkan anyaman tikar yang nantinya dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya untuk menyelesaikan selembar tikar, ia harus menghabiskan waktu selama satu bulan lebih. Selain perjuangan untuk kebutuhan sehari-hari, orang dengan disabilitas menjadi lebih rentan dari risiko dan dampak perubahan iklim , khususnya akses air bersih dan akses sanitasi.
Desa Wae Codi merupakan salah satu desa di Kabupaten Manggarai yang secara rutin mengalami bahaya perubahan iklim, seperti kekeringan hingga tanah longsor. Desa ini merupakah salah satu wilayah dampingan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) melalui Water for Women (WfW Project) atas dukungan dana dari DFAT dan Plan International Australia (PIA) Water Sanitation and hygiene (WASH). Plan Indonesia melalui proyek WfW ini berfokus pada kesetaraan gender dan inklusi sosial, berupaya meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kesetaraan bagi 450.000 orang di Indonesia Timur, terutama yang paling terpinggirkan termasuk anak-anak, perempuan, dan orang dengan disabilitas. Dalam upaya memahami bagaimana perubahan iklim memengaruhi kehidupan khususnya orang dengan disabilitas, serta bagaimana proyek WfW dapat mendukung hal ini dengan lebih baik, maka Plan Indonesia bermitra dengan Institute for Sustainable Future (ISF) di bawah WfW Fund melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hal ini secara khusus. Bagaimana perubahan iklim berdampak pada peningkatan akses dan kualitas air dan layanan sanitasi yang berfokus pada gender dan inklusi sosial. Sebagai bagian dari penelitian ini, Nenek Ne adalah salah satu peserta dalam kegiatan audit keselamatan untuk mengeksplorasi aksesibilitas layanan WASH, terutama dalam kaitannya dengan dampak perubahan iklim. Nenek Ne mengatakan, “Saya sangat senang dengan kegiatan yang dilakukan oleh Plan, mereka bertanya kepada saya tentang kesulitan saya untuk mengambil air dan pergi ke toilet terutama saat hujan deras atau kekeringan, sebelumnya saya tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan semacam ini dan bertanya tentang kebutuhan saya.”
Hal ini juga menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah dalam upaya menghadirkan kelompok dengan disabilitas di setiap kegiatan perencanaan, mulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat dusun hingga tingkat kabupaten. Camat Cibal Barat, Karolus Mance menyampaikan bahwa; “Salama ini mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan, kita memang jarang melibatkan yang berkebutuhan khusus namun lewat kehadiran teman-teman Plan yang telah melakukan advokasi yang begitu baik, kita menyadari bahwa sesungguhnya orang yang berkebutuhan khusus itu penting untuk dihadirkan mulai dari Musrenbang dusun hingga kabupaten.” Ujarnya. “Oleh karena itu kita berikhtiar ke depan harus melibatkan mereka karena yang mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya adalah mereka sendiri, sebab selama ini kita yang menjustifikasi kebutuhan mereka padahal apa yang kita sampaikan atau berikan belum tentu memenuhi harapan dan kebutuhan mereka” lanjut Karolus Mance.
Ketika musim kemarau tiba di bulan Juni hingga November setiap tahunnya, berbekal dua buah jerigen bekas minyak goreng, ia perlahan menyusuri lereng gunung di sebelah rumahnya yang cukup terjal dan juga licin. Nenek Ne mengayunkan langkah kecilnya untuk menjangkau sumber air yang jaraknya lebih dari 800 meter dengan menghabiskan waktu kurang dari satu jam. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih dalam sehari, ia harus mengambil air sebanyak dua kali.
Saat ini Nenek Ne tinggal sendiri, ketiga anaknya sudah menikah dan menetap di desa lain. Namun, hal ini tidak membuat ia patah semangat. Walaupun ia harus tinggal sendirian, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, sanitasi dan kebersihan dalam rumahnya ia tetap dengan tenang melakukannya. Berdaya dalam diam adalah kata yang tepat untuk menggambarkan hidup Nenek Ne yang kuat dan berdaya, memenuhu kebutuhannya sendiri selama ini.
Semoga situasi ini lebih baik di masa depan, tidak hanya untuk Nenek Ne tetapi juga untuk orang-orang dengan disabilitas lainnya. Lebih banyak perhatian dan dukungan untuk mengakses fasilitas air bersih dan toilet yang dapat diakses oleh disabilitas. Lebih penting lagi, suara mereka perlu didengarkan khususnya dalam program-program WASH untuk memastikan kaum yang termarjinalkan bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Ditulis oleh: Agus Haru