Bekerja sebagai pelaut masih dianggap sebagai pekerjaan yang maskulin dan menjadi tujuan masa depan bagi banyak remaja laki-laki di Tegal. Beberapa faktor yang mendorong lestarinya mata pencaharian ini di antaranya adalah: Upah yang diiming-imingi terutama jika bekerja sebagai ABK di kapal luar negeri, mudahnya proses menjadi ABK karena tidak memerlukan ijazah khusus, makanan dan tempat tinggal yang disediakan, dan tidak diperlukannya kompetensi dan kemampuan yang membutuhkan pendidikan yang tinggi.
Hendri (19), Farchan (18), dan Prayitno (18) adalah murid di sekolah kejuruan usaha perikanan di Tegal yang bercita-cita untuk bekerja menjadi pelaut. Prayitno sendiri merupakan anak seorang pelaut. Kakak dari Farchan juga bekerja sebagai pelaut. Sementara itu, Hendri diperkenalkan dengan dunia pelaut melalui jejaring orang tuanya. Hidup dan tumbuh di Tegal membuat mereka bertiga melihat profesi pelaut sebagai salah satu “jalan keluar” yang mudah untuk keluar dari garis kemiskinan karena iming-iming upah yang menggiurkan.
Melalui SAFE Seas Project (SSP), murid-murid yang bercita-cita untuk menjadi awak buah kapal (ABK) mempelajari hak dan kewajiban mereka di atas kapal. Selain itu, mereka juga dibekali dengan informasi tentang Pusat Layanan dan Informasi bagi Awak Kapal Perikanan (PIALA) untuk pelaporan dan rujukan apabila mereka menemukan kejadian ataupun indikasi eksploitasi pekerja/ perdagangan orang saat mereka berlayar maupun di sekitar mereka.
Risiko Bekerja Di Atas Kapal Penangkap Ikan
Di balik tawaran upah yang tinggi, terdapat risiko pekerjaan yang tinggi pula. Risiko bekerja di kapal penangkap ikan dalam negeri lebih tinggi jika dibandingkan dengan kapal luar negeri karena ketersediaan alat keselamatan yang sangat minim, tidak adanya perjanjian kerja – yang kemudian membuat keselamatan dan kesejahteraan ABK tidak terjamin, dan pembagian hasil tangkapan yang tidak diungkap sebelum kapal berlayar. Beberapa media massa memberitakan kasus perbudakan (di kapal asing) dan kecelakaan yang terjadi pada kapal penangkap ikan. Salah satunya, pada September 2019 diberitakan bahwa ada dua ABK yang hilang saat kapal mereka terbalik di perairan Karimun Jawa.
Mereka bertiga tidak serta merta menutup mata atas segala risiko yang bisa terjadi saat bekerja di atas kapal penangkap ikan dan sepenuhnya sadar atas risiko fisik dan mental yang dapat diterima dari berita di media cetak maupun media sosial. Prayitno bahkan menyatakan bahwa salah satu korbannya adalah teman dekatnya. Selain risiko keselamatan, ABK dihadapkan dengan tantangan lain, seperti: stok makanan yang seringkali tidak cukup untuk perjalanan di atas dua minggu, tingkat kesulitan mengoperasikan alat penangkap ikan yang berbeda-beda bergantung pada jenis ikannya, dan upah yang bisa jadi tidak sesuai dengan perjanjian awal karena banyaknya potongan yang tidak diberitahu sejak awal oleh nahkoda.
Dengan bersekolah di Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM), Hendri, Farchan, dan Prayitno mendapatkan pelajaran dasar keselamatan. Dari situ mereka belajar bagaimana cara menghadapi situasi yang membahayakan di atas kapal. Selain itu, mereka juga bisa mengikuti Praktik Kerja Laut (PKL) yang diwajibkan oleh pihak sekolah. Dalam PKL, murid-murid dibebaskan memilih untuk bekerja dengan nahkoda yang bermitra dengan sekolah atau mencari perusahaan sendiri.
Hendri merupakan salah satu murid yang berpengalaman bekerja di atas kapal saat mengikuti PKL ke perairan Palu di atas kapal Cantrang 90 GT. Sebelumnya, ia sudah dibekali ilmu untuk membuat jaring dan menyambung tali oleh sekolahnya. Tapi itu saja belum cukup. Hendri mempelajari keterampilan penting lainnya justru dari ABK senior saat berlayar. Hendri mengatakan bahwa peralatan yang diberikan sangat minim dan tidak mencakup life jacket. Perbekalan darat pun hanya cukup untuk seminggu padahal
perjalanan ini berlangsung selama kurang lebih 50 hari. Hendri juga tidak memerlukan izin tertulis dari orang tua untuk bisa berlayar. Sehingga, keberadaan remaja 19 tahun itu menjadi sepenuhnya tanggung jawab nahkoda.
Hendri, Farchan, dan Prayitno sepenuhnya sadar atas segala bentuk risiko yang bisa terjadi di atas kapal. Termasuk betapa rentannya ABK untuk ditipu terkait pembagian hasil tangkapan kapal dalam negeri karena tidak pernah ada perjanjian tertulis. “Ya risikonya menjadi pelaut kan begitu, kalau tidak ada tangkapan ya tidak dapat hasil (upah). Tapi saya rasa perjanjian itu perlu ada di kapal domestik, seperti di kapal luar negeri”, ujar Prayitno.
Setelah mengikuti kegiatan sosialisasi dari SAFE Seas Project, tiga remaja laki-laki itu menjadi lebih paham mengenai hak dan kewajiban mereka di atas kapal, seperti perjanjian kerja tertulis, pembagian upah yang adil dan transparan, ketersediaan peralatan K3, makanan yang cukup, dan kebersihan. Mereka berharap pemerintah dapat lebih membantu dalam hal mempermudah – bahkan menggratiskan murid-murid sekolah usaha perikanan untuk memperoleh dokumen/sertifikat yang dibutuhkan, seperti: Buku Pelaut, Basic Safety Training (BST), ADKAPIN, dan ANKAPIN.
Oleh: Hanna Vanya