Bekerja di atas kapal ikan sebagai Awak Kapal Perikanan (AKP) bukanlah hal yang mudah. Pekerjaan ini penuh dengan tantangan, membutuhkan banyak tenaga, dan menuntut keberanian tinggi. Oleh karena itu, AKP harus memiliki kesiapan mental dan fisik yang prima, mengingat mereka harus bekerja selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan, mengarungi lautan untuk berlayar. Ambisi perusahaan (manning agency) untuk meraup keuntungan besar sering melupakan apa yang menjadi hak-hak para AKP yang bekerja di atas kapal. Padahal, perusahaan berkewajiban untuk memberikan apa yang sudah menjadi hak mereka. Itulah sebabnya, hanya segelintir orang yang punya cita-cita untuk menjadi AKP.
Satu di antara orang yang memutuskan menjadi AKP adalah Arnon Hiborang, laki-laki berusia 38 tahun yang pernah merasakan getirnya menjadi seorang AKP ketika bekerja di sebuah kapal asing. Kehidupan keluarga yang pas-pasan membuat Arnon meninggalkan bangku pendidikan dan mulai ikut melaut untuk bisa mendapatkan uang. Saat masih berusia belasan tahun, tepatnya di tahun 2000, Arnon mulai bekerja menjadi AKP di sebuah kapal ikan Taiwan yang berkantor di Kota Bitung, Sulawesi Utara dan beroperasi di Laut Arafura, wilayah perairan yang berada di antara Pulau Papua dan Benua Australia.
Selama 21 bulan di tengah lautan, di situlah Arnon merasakan duka yang mendalam, rindu keluarga, rindu anak, rindu orang tua. Apalagi, saat sakit di atas kapal. Arnon ingin sekali pulang dan terus teringat rumah. Namun, rindu tinggallah rindu, situasi tidak memungkinkan untuk bisa pulang menemui keluarga karena masih berada di tengah samudera.
Dari segala hal yang dialaminya selama bekerja menjadi AKP, Arnon berjanji dalam hati, dirinya tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya untuk bekerja di atas kapal. “Bekerja di kapal ikan itu keras. Saya ingin anak-anak saya bekerja di darat saja, meski hanya menjadi pelayan toko, asalkan tidak bekerja di kapal,” ucap Arnon.
Selama bekerja di kapal asing dan mendapat perlakuan yang tidak wajar, Arnon bersama teman-teman AKP lainnya tidak tahu harus mengadu ke mana. Mereka juga tidak tahu harus mencari perlindungan kepada siapa.
Namun, muncul perasaan lega saat Arnon mengenal Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Ketika Plan Indonesia masuk ke Sulawesi Utara melalui SAFE Seas Project sekitar tahun 2019, Arnon diundang mewakili AKP untuk menghadiri pertemuan yang dilaksanakan oleh SAFE Seas Project di sebuah hotel. Ia sangat bersyukur dengan adanya program SAFE Seas Project dan Plan Indonesia yang sangat membantu AKP, baik dari dalam maupun luar negeri.
Setelah menerima informasi dari SAFE Seas Project, Arnon semakin memahami apa yang menjadi hak-hak AKP dan tahu ke mana harus mengadu apabila terjadi masalah di laut. Plan Indonesia juga mendorong AKP yang berada di Sulawesi Utara untuk membentuk wadah bagi para AKP. Atas dorongan tersebut, Arnon mengajak para AKP untuk berorganisasi atau berserikat, sehingga terbentuklah Serikat Anak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara. Dalam serikat ini, Arnon berperan sebagai ketua.
Arnon percaya bahwa serikat ini akan menjadi wadah yang bisa mendampingi AKP ketika mereka mengalami masalah. “Dengan dibentuknya serikat ini, saya yakin bahwa persatuan dan kekompakan para AKP akan meningkat pesat. Mereka akan jadi lebih mudah untuk memperjuangkan hak-hanya. Selain itu, serikat ini juga dapat mendorong pemerintah untuk membentuk regulasi yang lebih memperhatikan kondisi dan melindungi hak-hak mereka,” ujarnya menambahkan.
Hingga saat ini, Arnon masih aktif dalam mengedukasi AKP yang baru akan naik atau bekerja di kapal, serta meminta mereka untuk memahami terlebih dahulu isi surat Perjanjian Kerja Laut (PKL) untuk menghindari kerja paksa. Bersama aliansi awak kapal perikananan yang dikelolanya, Arnon juga bekerjasama dengan Plan Indonesia melalui SAFE Seas Project dalam menangani permasalahan yang menimpa AKP. Bersama-sama, Arnon dan Plan Indonesia juga memfasilitasi seluruh AKP untuk menyelesaikan masalah mereka di Sulawesi Utara.
Ditulis oleh: Eko Prasetyo