Di sudut tenang sebuah sekolah luar biasa (SLB) di Yogyakarta, seorang anak laki-laki bernama Bagas memegang kuas dengan penuh keyakinan. Ia bukan sekadar murid biasa—ia adalah seorang seniman muda yang menjadikan kanvas sebagai panggung bagi suara yang tak terdengar. Bagas adalah tunarungu, dan ia berbicara kepada dunia melalui bahasa isyarat serta, yang tak kalah kuatnya, melalui lukisan.
Sekolah tempat Bagas belajar adalah bagian dari program implementasi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Program ini memperkuat kapasitas guru sebagai fasilitator kesiapsiagaan bencana, termasuk untuk murid-murid dengan disabilitas. Di ruang kelas, Bagas dan teman-temannya belajar tentang langkah-langkah penyelamatan diri saat terjadi bencana, terutama gempa bumi yang rawan terjadi di wilayah mereka.
Namun, pemahaman Bagas tentang kebencanaan tidak berhenti di kelas. Ia menerjemahkannya ke dalam karya seni—sebuah lukisan yang menggambarkan enam poin penting penyelamatan diri ketika gempa terjadi. Lewat warna-warna cerah dan detail yang jernih, Bagas menjelaskan apa yang harus dilakukan: dari mengenali suara peringatan dini, melindungi kepala, mencari tempat aman, hingga bagaimana tetap tenang setelah gempa berhenti.
Lukisan itu menjadi lebih dari sekadar tugas sekolah. Ia menjadi media komunikasi universal, menembus batas bahasa dan pendengaran. Di tengah dunia yang kadang lupa mendengarkan anak-anak dengan disabilitas, Bagas menunjukkan bahwa semua orang bisa menjadi penyampai pesan penting—asal diberi ruang dan kepercayaan.
Guru-guru di sekolah Bagas tidak hanya melihatnya sebagai penerima informasi, tapi sebagai aktor perubahan. Melalui pendekatan inklusif dalam SPAB, Bagas mendapatkan kesempatan yang setara untuk memahami risiko bencana dan, lebih penting lagi, menjadi bagian dari upaya menyebarkan pengetahuan itu.
Bagas adalah bukti hidup bahwa ketangguhan bukan hanya soal fisik, tapi tentang bagaimana seseorang, dengan segala keunikannya, bisa memberi kontribusi bagi keselamatan bersama. Ia tidak minta dikasihani, tidak butuh dikagumi. Ia hanya ingin didengar—dengan caranya sendiri. Dan lukisannya telah menjawab itu dengan sempurna.
Di tengah krisis, kita sering mencari pahlawan. Tapi di Yogyakarta, seorang anak bernama Bagas telah menunjukkan bahwa menjadi pahlawan bisa dimulai dengan satu kuas, satu kanvas, dan satu niat tulus: menyelamatkan sesama.