Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mencanangkan program belajar di rumah untuk pembelajaran hingga akhir tahun 2020. Sayangnya, tidak semua murid dapat belajar dengan nyaman di rumah. Anak-anak penyandang disabilitas, misalnya, menghadapi tantangan yang berbeda saat harus belajar mandiri di rumah dan hanya berkomunikasi dengan guru secara daring.
An (18 tahun) dan Novel (17 tahun), dua anak perempuan penyandang disabilitas tuli asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengalami kesulitan untuk belajar di rumah. “Saya kesulitan belajar tugas di rumah,” ujar An. Selama masa pandemik, An mengungkapkan bahwa guru memberi tugas rumah secara daring.
Saat masih bisa bertemu tatap muka dengan guru dan rekan-rekannya di sekolah, An tak lantas terhindar dari masalah tersebut. “Di kelas, rata-rata ada 10 orang anak dengan disabilitas yang berbeda. Misalnya ada yang tuna netra, tuna daksa, tuna intelektual, dan tuna rungu seperti saya. Tetapi, guru di kelas bahkan ada yang tidak bisa bahasa isyarat penuh. Jadi, kami hanya diberikan tugas saja di kelas” An bercerita kepada Plan Indonesia.
Selain kesulitan belajar, kegiatan An dan Novel lainnya juga terhambat. Novel, misalnya, sangat menantikan saat ia dapat mengikuti seleksi menjadi atlet Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas). “Sebenarnya saya bosan karena harus terus di rumah. Tapi saya sedih karena banyak kegiatan saya yang terhenti karena pandemi. Contohnya, Pekan Olahraga Nasional (PON) dan Peparnas yang dibatalkan,” ujar Novel, mengungkapkan kesedihannya.
Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil telah melakukan berbagai upaya untuk memastikan anak-anak Indonesia untuk mendapatkan haknya. Meski demikian, masih diperlukan upaya untuk mengisi kesenjangan yang dialami oleh anak-anak rentan, di antaranya anak-anak penyandang disabilitas di daerah terpencil, kepulauan, dan terluar.
Pada bulan Juni 2020, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) memfasilitasi ruang dengar pendapat antara 50 anak dan kaum muda dari berbagai wilayah di Indonesia untuk berdiskusi secara online dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. An dan Novel menjadi perwakilan anak dengan disabilitas dari Kupang yang turut memberikan rekomendasi kepada Mendikbud dan Wakil Ketua KPAI.
“Selama pandemi, kami semakin sulit paham pelajaran karena tidak ada dampingan dari guru ke rumah. Saya berharap Bapak Menteri bantu kami menyediakan guru yang bisa berbahasa Isyarat dan peralatan yang menunjang pendidikan kami di sekolah dan di rumah”, ujar An sampaikan pendapatnya kepada Mendikbud Nadiem Makarim.

Sementara Novel menyampaikan beberapa fakta kondisi kepada KPAI, di antaranya: (1) anak-anak penyandang disabilitas mengalami kesulitan berkomunikasi dengan non-disabilitas, (2) 70% anak disabilitas tidak bersekolah, dan (3) anak penyandang disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual.
“Tidak hanya di sekolah, di luar sekolah pun kami dihadapkan dengan lingkungan yang tidak inklusif. Kami juga rentan dibully”, ujar Novel kepada Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati.

Pada masa tanggap darurat pandemic COVID-19, Plan Indonesia memastikan perlindungan hak anak di masa pandemik, khususnya anak perempuan, anak penyandang disabilitas, anak dalam keluarga ekonomi lemah, dan anak di wilayah terpencil yang sulit akses logistik dan infrastruktur. Plan Indonesia bersama mitra mendorong upaya pencegahan terjadinya kekerasan pada anak dengan memperkuat mekanisme perlindungan anak berbasis komunitas termasuk mekanisme pelaporan yang ramah anak, penyebarluasan informasi nomor telepon pengaduan jika terjadi dugaan kekerasan.