Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 2020 diperingati dengan suasana yang lebih sunyi dan reflektif. Tak ada lagi kemeriahan perlombaan antar warga di kampung halaman. Tak ada lagi acara makan bersama para tetangga sembari memperingati jasa para pahlawan yang telah gugur sebelum kita. Perayaan kemerdekaan kali ini membuat kita berpikir lebih dalam dan merefleksikan lagi makna kemerdekaan bagi diri kita masing-masing. Apakah kemerdekaan ini sudah dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali?
Gambar: Remaja perempuan sedang mengikuti permainan di tengah kegiatan pelatihan/ Dok. Agus Haru
Menjadi merdeka berarti punya kebebasan pendapat untuk mengemukakan pendapat tanpa takut menerima ancaman atau diskriminasi. Menjadi merdeka juga berarti bebas menentukan masa depan tanpa harus ada paksaan dari orang lain. Bagi banyak anak-anak dan kaum muda perempuan di Indonesia, kebebasan ini mungkin hanya sebatas angan. Hidup mereka sudah ditentukan jauh sebelum mereka lahir ke dunia. Sebelum ditentukan oleh orangtuanya, nasib anak perempuan bahkan sudah lebih dulu diputuskan oleh budaya, adat, dan norma yang tumbuh di masyarakat. Ada ekspektasi dan fungsi peran yang ikut lahir bersamaan dengan bayi perempuan yang baru keluar dari rahim ibunya.
Suci (20 tahun) memaknai kemerdekaan sebagai hak untuk memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri, baik untuk menjadi apa, memutuskan untuk menikah atau tidak, dan menikah dengan orang yang ia pilih jika ia memutuskan untuk menikah. Suci berkaca dari rekan-rekan sebaya di desanya. Beberapa anak perempuan masih belum merdeka karena dipaksa menikah oleh orangtuanya akibat desakan ekonomi. Anak perempuan dianggap belum berdaya sehingga satu-satunya cara untuk meningkatkan kualitas hidup (dan status ekonominya) adalah menikahkan mereka dengan laki-laki mapan.
Di Indonesia, angka perkawinan usia anak mencapai 11,2% pada 2018. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 1 dari 9 remaja perempuan di Indonesia berusia 20-24 tahun menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Bagaimana anak perempuan bisa sepenuhnya merdeka jika mereka masih dianggap sebagai kelas kedua yang tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, salah satunya dengan memutuskan kapan dan dengan siapa ia akan menikah?
Pergerakan anak perempuan masih dibatasi oleh beberapa nilai dan norma yang ada di masyarakat. Di desa tempat tinggal Suci di Lombok Barat misalnya. Anak perempuan masih mengalami perbedaan perlakuan oleh masyarakat setempat. Sebagai contoh, jika anak perempuan pulang lebih di atas jam 10 malam, ia akan dianggap sebagai momok dan perlu segera “disembuhkan” dengan cara dicarikan lelaki untuk menikahinya. Murid perempuan di tempat Suci sekolah pun nyaris tidak bisa berekspresi secara bebas. Sebagai contoh, murid perempuan sulit untuk menyampaikan pendapat di depan publik.
Maya (21 tahun) beranggapan bahwa merdeka artinya terbebas dari segala bentuk diskriminasi, serta punya akses yang setara untuk pendidikan, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Di Indonesia, hanya 28.38% anak perempuan memiliki privilese untuk mengenyam bangku pendidikan (World Economic Forum, 2020). Padahal, akses ke pendidikan dasar yang berkualitas adalah salah satu hak anak, termasuk anak perempuan. Pendidikan yang berkualitas akan menjadi bekal bagi anak untuk bisa menggali potensi diri dan memenuhi potensinya semaksimal mungkin. Pendidikan adalah kunci bagi anak-anak untuk bermimpi besar sekaligus alat bagi mereka untuk menggapai cita-cita mereka.
Maya juga menyoroti pentingnya unsur keamanan saat beraktivitas, terutama bagi kaum perempuan, saat harus beraktivitas di dalam maupun luar rumah. Anak perempuan masih harus berurusan dengan kekerasan dimanapun dia berada. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, kasus Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) di 2020 melonjak sebanyak 2.341 kasus, dan di tahun sebelumnya terdapat 1.417 kasus. Peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan ini tentunya merupakan kritik besar terhadap konsep kemerdekaan yang tiap tahunnya digaungkan ke seluruh antero negeri.
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Tentu banyak. Hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk membuat anak dan kaum muda perempuan merdeka adalah dengan memberikan ruang untuk mereka berbicara dan didengar, mulai dari forum terkecil hingga forum internasional. Berikan anak dan kaum muda perempuan akses dan perlakuan yang setara dengan rekan laki-lakinya. Berani untuk berbicara apabila kita menyaksikan praktik diskriminasi atau tindak pelecehan maupun kekerasan kepada mereka. Ciptakan lingkungan yang adil dan bermartabat untuk anak dan kaum muda perempuan dapat merdeka.
Oleh: Hanna Vanya