Oleh: Hanna Vanya
Rekan sebaya punya peran yang sangat penting dalam perkembangan sosial dan psikologis remaja. Riset menunjukkan bahwa remaja akan cenderung mengubah sikap dan perilakunya jika mereka menerima pesan-pesan kesehatan dari rekan-rekan sebaya yang punya tekanan dan masalah yang sama. Maka dari itu, pendidikan sebaya dapat digunakan sebagai salah satu strategi dalam promosi kesehatan.
Sejak tahun 2003, Kementerian Kesehatan telah mengembangkan program kesehatan remaja menggunakan pendekatan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), di mana salah satu komponennya adalah pemberdayaan remaja secara langsung melalui pembinaan menjadi kader kesehatan remaja/konselor sebaya.
Vena (17) dari Soe, Nusa Tenggara Timur, Henny (17) dari Asahan, Sumatera Utara, dan Sharla (16) dari Bengkulu merupakan anak-anak perempuan yang aktif mengkampanyekan pesan-pesan kesehatan di lingkungan mereka. Sharla memiliki ketertarikan khusus di bidang kesehatan mental, sedangkan Vena dan Henny lebih fokus kepada topik kesehatan reproduksi dalam kegiatan kampanye mereka.

Pada Rabu (25/02) hingga Jumat (28/02) lalu, mereka bertiga berkesempatan datang ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan Penguatan Kader Kesehatan Remaja oleh Kementerian Kesehatan RI. Tim Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) beruntung bisa ngobrol santai dengan tiga perempuan muda hebat ini di sela-sela padatnya jadwal mereka dan mengulik motivasi dan cerita-cerita menarik dalam perjalanan mereka kampanye dan promosi kesehatan. Simak hasil wawancaranya di bawah ini.

Q: Mengapa kamu ingin menjadi kader kesehatan?
Vena: “Aku pernah punya teman saat kelas 3 SMP yang pernah hamil. Namun, waktu dia melahirkan, anaknya meninggal karena rahimnya belum kuat dan reproduksinya belum matang. Dia belum punya informasi tentang kesehatan reproduksi yang cukup saat itu. Sejak saat itu, kegiatan-kegiatan remaja di sekolah jadi fokus membahas topik-topik tentang kesehatan reproduksi”
Vena tergabung ke dalam organisasi Pusat Informasi Kesehatan (PIK) Remaja di sekolah. Topik yang diangkat ke dalam diskusi organisasi ini ternyata beragam, mulai dari sistem dan kesehatan reproduksi, dampak dari penggunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA), hingga stunting.
Sharla: “Aku pernah punya teman yang menyakiti dirinya sendiri, dia cutting (menggores pergelangan tangan dengan benda tajam). Terus, beberapa saat kemudian dia upload di sosial media karena dia pengen semua orang juga tau masalah dia”
Sharla aktif dalam kelompok remaja bernama Abul (Anak Anti Bully) yang ia inisiasi paska keterlibatannya dalam Perayaan Hari Anak Perempuan Internasional “Girls Take Over 2019” yang diselenggarakan oleh Plan Indonesia. “Aku melihat kayaknya bullying ini masalah yang belum padam dari dulu” ujar perempuan asal Bengkulu ini. Sharla bersama teman-temannya berupaya untuk mengedukasi anak-anak di sekolah dasar (SD) tentang bahaya praktik perundungan (bullying). Ia merasa bahwa informasi tentang perundungan ini harus dibagikan kepada anak-anak sejak dini supaya mereka paham dampak buruknya dan tidak melakukannya di kemudian hari.
Sharla mengedukasi anak-anak SD dengan menyebarkan poster ke sekolah-sekolah terdekat. Sharla juga mengadakan sesi kelompok untuk nonton bareng dan diskusi bersama anak-anak perempuan dan laki-laki.
Q: Ada cerita yang paling berkesan selama kamu menjadi aktivis muda gak?
Henny: “Aku pernah dimarahi ibu-ibu, kak hahaha. Waktu itu, Rumah Caper sedang sosialisasi ke warga sekitar untuk kampanye pencegahan perkawinan anak. Di daerah itu banyak sekali anak-anak yang tidak sekolah. Terus waktu kami berikan edukasi, ibu-ibunya malah bilang kalau anak-anak itu lebih baik menikah saja dengan laki-laki yang status ekonominya tinggi supaya ekonomi keluarga perempuannya bisa terangkat.”
Q: Bagaimana biasanya cara kamu untuk mengedukasi masyarakat?
Henny: “Pertama-tama kita ke kepala desa dulu untuk minta izin, terus kita mendekati perwiritan (pengajian) ibu-ibu yang ada di desa untuk diundang ke acara. Selain itu, kita juga ke sekolah-sekolah dengan kirim surat dulu, baru kita sosialisasi ke sekolahnya.”
Q: Apa sih tantangan terbesar dalam menyebarkan informasi tentang kesehatan?
Henny: “Pernah waktu itu mereka (peserta sosialisasi) – memberi masukan daripada kita ngomongin ini – tentang perkawinan anak – lebih baik kita fokus bicarakan soal agama saja, begitu katanya”
Henny sendiri tergabung ke dalam Rumah Caper (Rumah Cerdas Anak Perempuan) yang fokus ada pendidikan berkualitas dan kesetaraan gender. Salah satu tantangan terbesar Henny dalam mengkampanyekan kesehatan reproduksi dan pencegahan perkawinan anak adalah pergulatan dengan beragam stigma yang lekatdi masyarakat mengenai dua topik tersebut. Pesan-pesan yang disampaikan Henny dan rekan-rekannya seringkali terbentur pada nilai-nilai relijius konservatif yang dipercaya oleh masyarakat sekitar.
Vena: “Kalau di NTT, bicarakan soal kesehatan reproduksi itu masih tabu. Jangankan kita bicara soal kesehatan reproduksi, anak-anak perempuan di sana saja masih malu untuk bilang kalau mereka sedang menstruasi”
Sharla: “Kalau aku lebih kesulitan pas berhadapan sama anak-anak, kak. Susah banget untuk bisa bikin mereka fokus dan tertarik sama apa yang kita bicarakan di depan”
Q: Setelah mendapat pelatihan penguatan kader oleh Kemenkes, apa rencana kamu kedepannya?
Henny: “Aku ingin melanjutkan kegiatan promosi kesehatan ini dalam PIK Remaja di sekolah, kak.”
Vena: “Iya, aku juga akan fokus di PIK Remaja di sekolah supaya bisa menjangkau teman-teman di sekolah.”
Sharla: “Kalau aku akan merekrut lebih banyak remaja buat gabung ke Abul, biar lebih banyak remaja yang bantu promosi stop bullying ke anak-anak SD. Aku juga punya rencana untuk – sosialisasi – ke lebih banyak sekolah setelah ini.”