“Satu pagi, Eci pergi duluan ke kali untuk mandi dan menimba air, tapi dia pulang cepat sekali. Saya tanya dia kenapa? Dia takut karena di kali belum ada orang,” kenang Mama Reta (49).
Saat melihat putrinya kembali dengan wajah pucat dan napas tersengal, hati Mama Reta langsung menciut. Pikirannya dipenuhi bayangan buruk. Apakah ada sesuatu di sana? Ular berbisa yang menyelinap di antara semak belukar? Atau lebih buruk lagi, sesuatu yang tak kasat mata, yang hanya bisa dirasakan tapi tak bisa dijelaskan?
Di kampung ini, mitos tentang penghuni mata air sudah ada sejak lama. Kisah ini diwariskan turun-temurun. Masyarakat percaya, jika seseorang pergi sendirian ke sana, ia bisa disesatkan, ditahan, atau bahkan dibawa pergi oleh penghuni ghaib di mata air. Ditambah lagi, jalan ke kali dipenuhi semak belukar lebat, tempat bersembunyinya kalajengking dan ular berbisa. Dan yang paling ditakuti, rumor tentang ata dora—sosok misterius yang konon akan menculik mereka yang berjalan sendirian.
Tapi tidak ada pilihan. Rasa takut terhadap mitos dan rumor itu harus mereka lawan. Setiap pagi dan sore mereka harus tetap pergi ke kali. Sebab, kembali ke rumah dengan tubuh bersih dan air yang cukup adalah kebahagiaan sederhana yang mereka perjuangkan setiap hari. Rutinitas ini sudah menjadi bagian hidup yang mereka jalani selama ini. Ada ketakutan, ada perjuangan, tapi juga ada kegembiraan.
Bertahan dengan Mata Air “Pela”
Sejak dulu, penduduk kampung ini bergantung pada air bersih dari “Pela”, mata air yang tersembunyi di antara rimbunan pohon di tepi kali yang mengitari kampung kecil ini. Setiap pagi, saat langit sedikit lebih terang, anak-anak harus bergegas untuk mandi di kali sebelum sekolah. Pukul 05.00 hingga 05.30 pagi, mereka sudah berangkat ke kali. Sedangkan di rumah, ibu-ibu sibuk menyiapkan sarapan bagi anak-anak mereka.
“Nanti setelah mereka pergi ke sekolah, baru gantian kami, mama-mama, yang pergi ke kali untuk cuci pakaian, mandi, dan timba air bawa pulang. Bapak-bapak harus ke kebun dan kasi makan ternak,” kata Mama Reta.
Jalan setapak ini sempit, hanya cukup untuk satu orang dewasa. Rutenya mengitari punggung bukit dengan kemiringan yang cukup terjal. Di beberapa titik, tanahnya licin dan berbatu, membuat setiap langkah harus diukur dengan hati-hati. Salah pijakan sedikit saja, risiko tergelincir sangat besar.
“Kalau pergi menurun, kalau pulang mendaki sambil bawa air dan pakaian yang sudah dicuci. Kalau musim hujan di kali banjir, kami bisa tampung air hujan untuk digunakan. Dari saya kecil sudah seperti ini,” kenang Mama Reta.
Bagi anak-anak seperti Eci (14), mencari air adalah rutinitas yang tak terelakkan. Dengan gembira mereka menjalani perjuangan yang cukup melelahkan ini. Berbekal deterjen dan jeriken kosong, setiap pagi ia dan teman-temannya turun ke kali untuk mandi dan mencuci pakaian. Setelah selesai, mereka harus segera kembali dengan pakaian yang sudah dicuci dan jeriken berisi air bersih.
“Kami pulang mendaki. Kalau capek, kami istirahat dulu, baru jalan lagi. Sampai di rumah, siap-siap, baru ke sekolah. Kadang terlambat. Kalau terlambat, dihukum disuruh berlutut,” ungkap Eci sambil tertawa.
Di sekolah akses air pun terbatas. Air yang mereka bawa adalah satu-satunya sumber untuk mencuci tangan, membasuh wajah, bahkan menyiram toilet. Setiap murid membawa airnya sendiri, menuangkannya ke penampung di toilet sekolah. Jika persediaan habis, guru dan beberapa murid harus bekerja sama untuk pergi menimba air ke kali.
Meski terdengar keras, Eci dan teman-temannya tetap menjalaninya dengan wajah ceria. Mereka sudah terbiasa. Bagi mereka, membawa satu jeriken air ke sekolah bukanlah penderitaan, hanya bagian lain dari tantangan hidup yang harus dihadapi. Bersama guru-guru di sekolah mereka bahu-membahu untuk menyediakan air yang cukup agar aktivitas mereka di area sekolah menjadi lebih nyaman. Di balik semua itu, mereka hanya anak-anak yang ingin tetap sekolah, bermain, belajar, dan bertumbuh.
Ayah, Ladang dan Air Bersih
Dalam budaya agraris yang patriarkal, urusan air bersih sering dianggap sebagai tugas domestik yang menjadi tanggung jawab perempuan selain memasak, mencuci, membersihkan rumah. Namun disini, beban ini juga tertumpu di bahu laki-laki, meski jarang diperbincangkan.
Sevrin (32), kepala salah satu dusun di kampung ini. Sejak pagi, ia sudah di ladang, memberi makan ternak, mencangkul, menanam, merawat kebun yang menjadi sumber penghidupan keluarganya. Namun, ia tak bisa bekerja hingga petang seperti peladang pada umumnya. Pukul 14.00, ia harus meninggalkan ladang, pulang ke rumah, lalu bersiap pergi ke kali bersama istrinya.
“Kalau hanya satu orang yang pergi, tidak cukup. Kami di rumah ada tiga orang bapak, mama, dan anak. Harus bapak dan mama yang pergi ke kali, biar air untuk minum, masak, dan kebutuhan di WC malam bisa cukup. Kalau istri sendiri, dia bisa cape dan sakit.”
Untuk membawa air dari kali dengan maksimal, Sevrin dan istrinya biasa menggunakan Bolakoli, alat pengangkut air tradisional yang dianyam dari daun lontar. Dua jeriken air lima liter akan diikat oleh alat itu pada punggung mereka, sementara kedua tangannya masing-masing menenteng satu jeriken lagi. Dengan bantuan alat ini, mendaki terasah lebih mudah, dengan muatan air yang lebih maksimal.
“Satu kali jalan ke kali pulang pergi paling cepat satu jam, kalau kita tidak bawa dengan cara itu, kita cape kalau harus turun ke kali dua kali,” katanya.
Kondisi air bersih ini sudah lama mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat setempat. Ketika Sevrin masih kecil, ayahnya dan orang tua yang lain sudah mencoba untuk membangun jaringan pipa dan bak penampung secara swadaya. Mereka bergotong royong membangun jaringan pipa air bersih, berharap bisa mengalirkan air lebih dekat ke kampung. Namun, upaya itu tidak bertahan lama karena kurangnya kapasitas perencanaan dan perawatan.
“Waktu itu sekitar tahun 2002, yang pasang pipa juga orang kami sendiri, sehingga putarnya jauh sekali. Air juga cepat kering. Akhirnya, air ini juga selesai, tidak sampai tiga bulan,” kenangnya.
Upaya Plan Indonesia dan Berbagai Hambatan
Upaya Plan Indonesia melalui Programme Implementation Area (PIA) Nagekeo untuk menghadirkan air bersih di kampung ini tidaklah mudah. Perencanaan matang yang melibatkan konsultan teknis dan ahli air masih terbentur berbagai hambatan teknis dan sosial.
“Dari semua upaya itu, yang paling berat adalah ketika kita butuh daya listrik yang sangat besar untuk naikan air ke kampong. Meteran yang ada tidak mampu mendukung pompa karena kita pakai metode antigravitasi. Setelah rekayasa teknik dan uji coba, ternyata kita butuh daya sebesar 10.600-watt agar pompa bisa mengangkat air ke reservoar penampung,” ungkap Kosmin (48), staf Plan Indonesia di Nagekeo yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak anak terhadap akses air bersih.
Setelah meteran listrik ditingkatkan sesuai kebutuhan, air kali meluap akibat musim hujan yang kebetulan bertepatan dengan instalasi pompa. Akibatnya, material seperti kerikil dan pasir terbawa arus, masuk ke dalam pompa, dan menyebabkan pompa terbakar.
Hambatan teknis yang seolah tidak pernah selesai ini memicu gejolak sosial. Masyarakat yang masih percaya terhadap hal-hal mistis mulai ragu terhadap keberhasilan proyek ini. Partisipasi warga mulai menurun. Sebagian menjadi apatis dan enggan terlibat dalam kerja bakti. Bahkan, petugas Plan Indonesia sempat mengalami penolakan dan pengusiran dari beberapa warga.
Menghadapi situasi ini, Philip dan John, dua staf lapangan Plan Indonesia, segera mengambil langkah advokasi strategis untuk membangkitkan kembali semangat gotong royong masyarakat. Momentum yang tepat datang ketika pompa hidran pengganti tiba di lokasi. Kerja keras Plan Indonesia bersama masyarakat setempat akhirnya berhasil menaikan air dari Pela ke kampung.
Sejak saat itu, kampung kampung kecil di Nagekeo ini mencatat sejarah baru. Hidran umum yang tersebar di seluruh kampung mulai berfungsi, mendistribusikan air bersih bagi seluruh warga. Jarak dari rumah ke hirdran umum terdekat hanya 5 hingga 20 meter. Selain itu masyarakat setempat juga membentuk Badan Pengelola Air Minum Desa yang masih mendapatkan pendampingan dari Plan Indonesia. Secara bertahap kelompok ini akan ditingkatkan kapasitas terkait pengelolaan, perawatan, hingga pengembangan saran prasarana air bersih yang sudah ada ini.
Eci, Mama Reta, dan Air yang Dekat
Mama Reta, sambil menggendong anak bungsunya yang berusia dua tahun, mengenang hari itu dengan mata berkaca-kaca. Hari di mana doa dan mimpi mama-mama di kampung ini terwujud dalam bentuk satu broncaptering, meteran listrik 10.600 watt, sepasang reservoar penampung dan distribusi, saluran pipa, dan 14 hidran umum.
“Sekarang, air ada di dekat rumah. Anak-anak mandi ke sekolah tidak jauh jauh di kali lagi, terima kasih, ini dulu kami kira tidak akan pernah bisa, sekarang sudah ada.” ujar Mama Reta.
Eci yang berdiri di samping mamanya tersenyum, “Kami su tidak ambir air di kali lagi, jadi pagi saya suka bantu mama masak dulu, baru saya mandi dan siap-siap ke sekolah. Tidak terlambat lagi, dan guru juga tidak suruh kami bawa air ke sekolah lagi.”
Ditulis oleh: Alfred Ike Wurin | Editor: Moudy Alfiana | Foto: Plan Indonesia/Alfred Ike Wurin